Gambar Motivasi Sukses

Gambar Motivasi Sukses
Untuk Selalu di Ingat!

Sunday, May 15, 2011

Zaman Pendidikan Barat

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Situasi intelektual di Prancis abad ke-19 sangat berbeda dari situsai Pencerahan abad ke-18. Kalau pada zaman Pencerahan terdapat kecenderungan yang kuat untuk melawan agama, di abad ke-19 para filsuf Prancis mulai menghargai kembali peranan dimensi rohani manusia. Dalam hal ini mereka banyak menyerap pengaruh cita-cita spiritual idealisme Jerman yang berkembang pada abad yang sama. Sebuah aliran terpenting pada abad ini adalah positivisme, dengan tokoh Auguste Comte. Aliran ini menjadi cikal bakal ilmu pengetahuan tentang masyarakat atau sosiologi. Sekilas tampak perbedaan mencolok antara idealisme dan positivisme. Idealisme mendukung metafisika, sedangkan positivisme menolak metafisika. Kalau dipelajari lebih jauh, akan jelas bahwa kedua-duanya sama-sama spekulatif. Di balik kedok “filsafat positif”, aliran yang anti metafisika itu tidak jauh dari metafisika. Dengan demikian perbedaan keduanya bersifat ideologis. Sementara idealisme Jerman dengan sifat konservatif berusaha memodifikasi metafisika tradisional dengan wajah rasional, positivisme dengan semangat sekularistis progresif hasil Pencerahan, berusaha merekonstruksi sebuah sistem pengetahuan ilmiah yang dapat menjelaskan realitas sebagai keseluruhan (ini pretensi metafisis). Di balik perbedaan itu diam-diam keduanya sepakat untuk menemukan sebuah sistem integritas yang bersifat rohaniah yang dapat mengutuhkan kembali kebudayaan dan masyarakat yang mengalami krisis akibat modernisasi.







BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendidikan
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.
Tujuan pendidikan Islam tidak terlepas dari tujuan hidup manusia dalam Islam, yaitu untuk menciptakan pribadi-pribadi hamba Allah yang selalu bertakwa kepadaNya, dan dapat mencapai kehidupan yang berbahagia di dunia dan akhirat. Seperti dalam surat ad- Dzariyat ayat 56 :
“ Dan Aku menciptakan Jin dan Manusia kecuali supaya mereka beribadah kepada-Ku”.

1) Pengertian Positivisme
Menurut Adian (2006) istilah positivisme pertama kali digunakan oleh Henri Saint Simon. Istilah “positivisme” kemudian dipopulerkan oleh Comte. Istilah itu berasal dari kata “positif”. Dalam prakata Cours de Philosophie Positive, dia mulai memakai istilah “filsafat positif” dan terus menggunakannya dengan arti yang konsisten di sepanjang bukunya. Dengan “filsafat” dia mengartikan sebagai “sistem umum tentang konsep-konsep manusia”, sedangkan “ positif “ diartikannya sebagai “teori yang bertujuan untuk penyusunan fakta-fakta yang teramati.” Dengan kata lain, “positif” sama dengan “faktual”, atau apa yang berdasarkan fakta-fakta. Dalam hal ini, positivisme menegaskan bahwa hendaknya tidak melampaui fakta-fakta. Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris. Menurut Adian (2006) positivisme yakin bahwa masyarakat akan mengalami kemajuan apabila menghargai sains dan teknologi. Slogan positivistik yang terkenal berbunyi ”Savoir pour prevoir, prevoir pour pouvoir” yang artinya ”Dari ilmu muncul prediksi dan dari prediksi muncul aksi.”
Dalam penegasan itu jelas yang ditolak positivisme, yakni metafisika. Penolakan metafisika disini bersifat definitif. Dalam kritisismenya, Immanuel Kant masih menerima adanya “das Ding an sich”, obyek yang tidak bisa diselidiki pengetahuan ilmiah. Comte menolak sama sekali bentuk pengetahuan lain, seperti etika, teologi, seni, yang melampaui fenomena yang teramati. Baginya, objek adalah yang faktual. Satu-satunya bentuk pengetahuan yang sahih mengenai kenyataan hanyalah ilmu pengetahuan.
b) Perkembangan Sejarah Manusia Melalui Tiga Tahap
Sejak abad ke-17, dan meruncing pada abad ke-18 perkembangan ilmu-ilmu alam dengan model fisika Newton mempengaruhi pemikiran filosofis. Di atas sudah kita singgung bahwa kehancuran tatanan feodal dan Gereja tradisional, dan juga sistem metafisika, membuat para pemikir abad ke-19 cenderung menemukan sistem integrasi baru. Salah satu caranya adalah membuat sebuah rekonstruksi historis tentang sistem pengetahuan manusia melalui tahap-tahap sehingga secara reflektif jelas kesatuannya dalam setiap tahap. Asumsi pokoknya adalah bahwa perkembangan pengetahuan, seperti yang tampil dalam perkembangan ilmu-ilmu alam, berjalan progresif, niscaya, dan linear. Filsuf Prancis abad ke-18 Condercet dan Turgot, sudah mencoba rekonstruksi macam itu, dan di abad ke-19, Saint-Simon juga membuat. Rekonstruksi macam itu menemukan bentuknya yang paling komprehensif dalam filsafat Comte.
Dalam Cours de Philosophie Positive, Comte menjelaskan bahwa munculnya ilmu-ilmu alam tak bisa dipahami secara terlepas dari sejarah perkembangan pengetahuan umat manusia dari abad ke abad. Sejarah pengetahuan itu berkembang melalui tiga tahap yang ia sebut “tahap teologis”, “tahap metafisis”, dan “tahap positif”. Ketiga tahap itu dipahami Comte sebagai tahap-tahap perkembangan mental umat manusia sebagai suatu keseluruhan, dan menurut Comte, juga bersesuaian dengan tahap-tahap perkembangan individu dari masa kanak-kanak, memalui masa remaja, ke masa dewasa. Berikut ini adalah proses pendewasaan manusia menurut Comte:

A) Zaman Teologis
Teologi Adalah Cabang Filsafat yang merupakn kajian dari metafisika . Sepanjang sejarah filsafat, ia cukup menyita perhatian para Filsuf, terutama sejak abad pertengahan. Teologi merupakan pemikiran filosofis tentang persoalan ketuhanan. Hal ini sesuai dengan makna dasarnya yang berasal dari dua kata, Yaitu theo yang berarti tuhan dan logi yang berarti ilmu. Jadi teologi adalah ilmu yang mempelajari hal-hal yang dikaitkan dengan tuhan. Maka dalam perjalanannya, kajian teologi membahas secara filosofis pokok-pokok agama, sebagai hal-hal yang dikaitkan dengan tuhan.
Dalam kajiannya, kerangka berfikir yang dipakai teologi adalah apa yang di kenal dengan ekletisasi antara agama dan filsafat, Al taufiq Bain al – din wa al falsafah, yaitu mempertemukan agama dan filsafat. Maka, jika selama ini secara sosiologis terdapat dua kelompok, yaitu kelompok filsuf murni dan kelompok agamawan, munculnya pemikiran ini melahirkan kelompok ketiga, yaitu Teolog.
Filsuf murni adalah mereka yang dengan sarana akalny mengkaji fenomena alamiah atau dikenal dengan ayat-ayat kauniyah . dalam proses usahany itu mereka tidak ada pada baying-bayang otoritas wahyu. Termasuk dalam kelompok ini adalah para ilmuwan. Sedang agamawan adalah mereka yang dengan kualifikasi tertentu mengkaji sumberajaran agama, melaksanakan dan mengajarkan ajaran agama. Sementara teolog adalah mereka yang berusaha menemukan pertemuan antara agama dan filsafat.
Sepanjang sejarah filsafat, kajian teologi yang paling menyedot banyak energy adalah soal “Eksistensi Tuhan“. Di sini tidak dimaksudkan untuk menjelaskanbagaimana “Eksistensi Tuhan“ itu, tetapi lebih kepada memahami apa maksud istilah itu. Dalam kajian filsafat, istilah “Eksistensi” menunjuk pada suatu predikat suatu yang terkait ruang dan waktu.
Dalam tahap teologis menurut Comte , umat manusia mencari sebab-sebab terakhir di belakang peristiwa-peristiwa alam dan menemukannya dalam kekuatan-kekuatan adimanusiawi. Kekuatan-kekuatan ini disebut dewa-dewa yang dibayangkan memiliki kehendak atau rasio yang melampaui manusia. Zaman ini lalu dibagi menjadi tiga sub-bagian. Menurut Adien tahap ini dapat dirinci menjadi tiga tahap, yaitu:
a) Animisme
Animisme adalah kepercayaan kepada roh yang mendiami semua benda (pohon, batu, sungai, gunung, dsb). Pada sub-tahap yang paling primitif dan kekanak-kanakan, yaitu tahap fetisisme atau animisme, manusia menganggap objek-objek fisik itu berjiwa, berkehendak dan berhasrat.
b) Politheisme
Politeisme adalah kepercayaan atau pemujaan terhadap beberapa dewa, disebut dewa dan dewi. Pada tahap berikutnya, yaitu politeisme dimana kekuatan-kekuatan alam itu diproyeksikan dalam rupa dewa-dewa, jadi setiap kawasan gejala-gejala memiliki dewa-dewanya sendiri.
c) Monotheisme
Akhirnya, pada tahap monoteisme atau tahap tertinggi dewa-dewa dipadukan menjadi satu kekuatan adimanusiawi yang merupakan satu tokoh tertinggi. Manusia percaya adanya kekuatan tunggal di balik semua gejala tersebut.

B) Zaman Metafisis
Perkataan metafisika berasal dari bahasa yunani, meta yang berarti selain, sesudah atau sebalik, dan fisika, berarti alam nyata. Maksudnya ilmu yang menyelidiki hakikat segala sesuatu alam nyata dengan tidak terbatas pada apa yang dapat ditangkap oleh panca indra saja. (Hasbullah Bakry, 1971 hlm. 45).
Pengertian metafisika menurut menurut van Peursen adalah bagian filsafat yang memusatkan perhatiannya pada pernyataan mengenai akar terdalam yang mendasari segala adanya kita. (Van Peursen, 1983, hlm. 73)
Nama metafisika tidak pernah dipakai Aristoteles sendiri. Pendapat orang terdahulu, bahwa nama itu berasal dari Andronikos dari Rhodos (tahun 70 SM). (Anton Bakker, 1971 hlm. 1). Andronikos inilah yang menemukan sejumlah tulisan mengenai fisika, namun yang membicarakan sesuatu yang bersifat lebih umum dari segala sesuatu yang dibicarakan dalam fisika. Seperti asas/prinsip yang umum. Andronikos memberikan nama himpunan bagi tulisan-tulisan tersebut, yaitu metata physika. Berdasarkan atas pemberian nama itu, pada awal zaman pertengahan muncul istilah metafisika untuk menunjukkan ajaran kefilsafatan tertentu.
Aristoteles sendiri tidak mengenal istilah ontologi dan metafisika, tetapi beliau member nama tersendiri terhadap ilmu pengetahuan, yaitu Prote Philosphia yang berarti filsafat pertama/bagian filsafat yang utama. (B. Delfgaauw, 1984, hlm. 30).
Aristoteles berpendapat bahwa objek dari metafisika itu ada dua macam, yaitu ada sebagai yang ada, dan yang-ilahi. Pembahasan Yang-ada sebagai yang-ada, yang-ada dalam keadaanya yang wajar, menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan semacam ini berusaha untuk memahami yang-ada itu dalam bentuk yang semurni-murninya. Dalam hal ini yang penting bukannya apakah yang-ada itu dapat terkena oleh perubahan atau tidak, bersifat ilmu pengetahuan yang dinamakan metafisika itu. Pada waktu itu orang beranggapan kedua macam masalah tersebut yang satu tidak dapat dipisahkan dengan yang lain.
Dalam tahap metafisis umat manusia berkembang dalam pengetahuannya seperti seseorang melangkah pada masa remajanya. Kekuatan adimanusiawi dalam tahap sebelumnya itu sekarang diubah menjadi abstraksi-abstraksi metafisis. Misalnya: konsep “ether”, “causa”, dst. Dengan demikian, peralihan ke tahap ini diselesaikan sesudah seluruh konsep mengenai kekuatan-kekuatan adimanusiawi diubah menjadi konsep-konsep abstrak mengenai alam secara keseluruhan. Tidak ada lagi dewa-dewa, yang ada hanyalah entitas-entitas abstrak yang metafisis, dengan pengertian-pengertian atau dengan pengada-pengada yang lahiriah dan dipersatukan dalam sesuatu yang bersifat umum yaitu alam. Dimana alam dipandang sebagai asal segala penampakan atau gejala yang khusus.

C) Zaman Positif
Akhirnya, umat manusia mencapai kedewasaan mentalnya dalam tahap positif. Pada zaman ini umat manusia tidak lagi menjelaskan sebab-sebab di luar fakta-fakta yang teramati. Pikiran hanya memusatkan diri pada yang faktual yang sebenarnya bekerja menurut hukum-hukum umum, misalnya hukum gravitasi. Baru pada tahap inilah ilmu pengetahuan berkembang penuh. Ilmu pengetahuan tidak hanya melukiskan yang real, tapi juga bersifat pasti dan berguna.
Comte juga mencoba menghubungkan tahap-tahap mental tersebut dengan bentuk-bentuk organisasi sosial. Tahap teologis dihubungkannya dengan absolutisme misalnya otoritas absolut raja dan golongan militer. Pada tahap metafisis, absolutisme raja dihancurkan dan diganti dengan kepercayaan akan hak-hak abstrak rakyat dan hukum. Akhirnya, pada tahap positif organisasi masyarakat industri menjadi pusat perhatian. Ekonomi menjadi primadona dan kekuasaan elite intelektual muncul. Mereka ini menduduki peran organisator sosial bagi Comte, sosiologi merupakan ilmu baru yang dapat mereka pakai untuk mengorganisasikan masyarakat industri.
Rekonstruksi historis Comte ini di kemudian hari mulai ditanggapi secara kritis. Kebanyakan kritikus mempersoalkan kenetralan rekonstruksi itu. Comte memang mahir dalam menafsirkan sejarah Eropa dari abad ke abad dengan sebuah pretensi untuk menjadi objektif. Akan tetapi, kalau diperhatikan lebih jauh akan jelas bahwa dia membaca sejarah Eropa dari sudut pandang tertentu, yaitu sudut pandang positivistis. Pertama, dia menilai sejarah masa lalu dengan kriteria pengetahuan ilmiah yang baginya adalah satu-satunya kebenaran yang dituju segala bentuk pengetahuan. Kedua, seperti Hegel, dia juga ingin memandang filsafat positif sebagai tujuan sejarah, sehingga dia tidak siap menerima kemungkinan adanya tahap post-positivisme. Demikianlah di samping munculnya neo positivisme Lingkungan Wina, banyak filsuf abad ke-20 mengambil sikap kritis terhadap positivisme.

D) Altruisme
Altruisme diartikan sebagai kewajiban yang ditujukan pada kebaikan orang lain. Dari kata Latin alter, artinya orang lain. Hukum Agung dalam ajaran Yesus Kristus menekankan kasih terhadap sesama seperti kasih terhadap diri sendiri. Hukum Agung tersebut dapat disebut sebagai suatu etika altruistik. Suatu tindakan altruistik adalah tindakan kasih yang dalam bahasa Yunani disebut agape.
Agape adalah tindakan mengasihi atau memperlakukan sesama dengan baik semata-mata untuk tujuan kebaikan orang itu dan tanpa dirasuki oleh kepentingan orang yang mengasihi. Maka, tindakan altruistik pastilah selalu bersifat konstruktif, membangun, memperkembangkan dan menumbuhkan kehidupan sesama.
Suatu tindakan altruistik tidak berhenti pada perbuatan itu sendiri. Keberlanjutan tindakan itu sebagai produknya dan bukan sebagai kebergantungan merupakan salah satu indikasi dari moralitas altruistik. Moralitas altruistik tidak sekadar mengandung kemurahan hati atau belas kasihan. Ia diresapi dan dijiwai oleh kesukaan memajukan sesama tanpa pamrih. Karena itu, tindakannya menuntut kesungguhan dan tanggung jawab yang berkualitas tinggi.
Altruistik diajarkan semua agama. Dari sudut pandang teologi, altruistik merupakan suatu tindakan yang dijiwai oleh panggilan ilahi.
Kualitas iman atau agama justru harus diukur dari tindakan altruistik seseorang. Seorang yang mengaku beragama atau beriman mestilah jiwa dan rohnya diresapi kasih sayang terhadap sesama tanpa bersikap diskriminatif dan primordialistik.
Ciri utama moralitas altruistik adalah pengorbanan. Pemberian bantuan yang didasarkan pada kebutuhan sesama disebut sebagai tindakan filantropik. Karena itu, tindakan altruistik menjadi suatu yang diidealkan dalam ajaran-ajaran agama. Bahwa sesama manusia harus dikasihi.





2. Renaisans
Dalam periodisasi sejarah filsafat Barat, istilah renaissance untuk menandai masa-masa antara abad ke-13 dan akhir abad ke-15. Istilah Renaissance berasal dari bahasa Prancis yang berarti kebangkitan kembali. Oleh sejarawan istilah tersebut digunakan untuk menunjukkan berbagai periode kebangkitan intelektual, khususnya Eropa. Ciri filsafat Renaissance ada pada filsafat modern, yaitu menghidupkan kembali rasionalisme Yunani.
Berbeda dengan abad sebelumnya, yakni abad pertengahan yang lebih menitik beratkan oada aspek ajaran agama Kristen dimana gereja menjadi symbol kejayaan dan kekuasaan dalam segala aspek kehidupan termasuk dalam pemikiran. Orientasi pemikiran di abad ini lebih bersifat teoritis ketimbang filosofis murni. Maka tak heran bila segala sesuatunya dikembalikan kepada Tuhan. Sehingga akhirnya gereja sangat mendominasi dan siapa pun tidak bisa mengganggu gugat kekuasaan dan otoritasnya.
Situasi periode ini justru lebih berbeda dengan abad pertengahan yang memiliki semangat kebebasan. Spirit kebebasan inilah yang pernah terjadi di zaman sebelumnya tetapi hilang akibat hilang system teokrasi yang membelenggu dan memberangus kebebasan hingga akhirnya kembali dihirup dan nikmati di era kebangkitan ini.
Citra baru mengenai dunia pada zaman renaissans memperoleh pengungkapannya yang paling tajam pada ajaran Geonardo Bruno . Pada tahun 1548 ia lahir di Nola, Campania. Sejak masa mudanya ia masuk serikat Dominicius, namun baik cara berfikirnya maupun cara hidupnya tidak memungkinkannya untuk tinggal bicara. Semenjak tahun 1576 ia menjelajahi perancis, inggris dan jerman dan akhirnya kembali ke Italia.

3. Humanisme
Istilah humanisme mempunyai riwayat dan pemaknaan yang kompleks. Humanisme, sebagai sebuah terma mulai dikenal dalam diskursus wacana filsafat sekitar awal abad ke 19. Menurut K. Bertens, istilah humanisme baru digunakan pertama kali dalam literatur di Jerman, sekitar tahun 1806 dan di Inggris sekitar tahun 1860.
Istilah humanisme diawali dari Term humanis atau humanum(yang manusiawi) yang jauh lebih dulu dikenal, yaitu mulai sekitar masa akhir zaman skolastik di Italia pada abad ke 14 hingga tersebar ke hampir seluruh Eropa di abad ke 16.
Renaissance dan humanisme itu sangat berhubungan erat , humanism itu tidak lain dari pada suatu segi tertentu dari renaissance. Orang menginginkan dan mengkehendaki supaya manusia itu diperbaharui, maka orang lalu mencari cita-cita tentang bagaimana seharusnya pembaharuan itu. Kemudian cita-cita itu dapat di ketemukan (jadi ini berarti di penuhinya keinginan mereka itu), yaitu yang berupa kembalinya keadaan seperti pada zaman kuno.
Dalam perkembangannya humanisme di Eropa menampilkan penentangan yang cukup gigih terhadap agama (dalam hal ini Kristen) dan mencapai puncaknya, ketika Augusto Comte mendeklarasikan “agama humanitarian” dan menggantikan agama yang dianggap tidak humanis.
Humanisme sebagai sebuah term diskursus menuai berbagai pemaknaan, tergantung berbagai sudut pandang dan tinjauan yang digunakan. A. Lalande, menyebutkan beberapa pengertian humanisme, yang diantaranya ada yang saling bertentangan. Salah satu pengertian humanisme adalah gerakan humanis di Eropa yang memandang manusia dalam perspektif “manusiawi’ belaka yang bertentangan dengan perspektif religius (agama).
Di samping itu, A. Lalande juga menyebutkan pengertian humanisme sebagai pandangan yang menyoroti manusia menurut aspek-aspek yang lebih tinggi (seni, ilmu pengetahuan, moral, dan agama) yang bertentangan dengan aspek-aspek yang lebih rendah dari manusia. Ali Syari’ati menyebutkan defenisi humanisme sebagai himpunan prinsip-prinsip dasar kemanusiaan yang berorientasi pada keselamatan dan kesempurnaan manusia.
Tampaknya dari berbagai defenisi mengenai humanisme, defenisi yang diajukan oleh Ali Syari’ati lebih mendekati arti humanisme dari sudut pandang etimologis (human atau homo = manusia dan isme = paham atau pandangan).
Sekalipun istilah humanisme merupakan terma yang hanya dikenal dalam diskursus filsafat, namun humanisme sebagai pandangan mengenai konsep dasar kemanusiaan dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang, seperti sains dan spiritualisme. Dalam tulisan ini, humanisme coba diurai secara singkat dari tinjauan sains, filsafat, dan spiritualisme.
Secara ontologis, sains mendasarkan pandangannya pada diktum fisika Newton yang menyatakan”tiada fenomena yang tak dapat diukur dalam filsafat eksperimental”. Diktum inimelahirkan pandangan positivisme yang menekankan metode empirikal-eksperimentatif dalam memahami realitas. Metode ini meniscayakan lahirnya paradigma reduksionisme-atomistik yang menghasilkan pengerusan pada makna dan hakekat realitas. Dalam nalar saintifik pengetahuan semata bersifat nomotetis dan tidak terdapat pengetahuan yang bersifat ideografis (nilai dan kesadaran).
Pandangan sains tersebut, menuai kritik yang cukup tajam dari parailmuwan dan filosof yang mencermati dilema-dilema yang muncul dalam fakta kemanusiaan sebagai akibat pandangan humanisme yang sangat saintifik (positivistik).
4. Naturalisme
Naturalisme berasal dari kata “nature.” Kadang pendefinisikan “nature” hanya dalam makna dunia material saja, sesuatu selain fisik secara otomatis menjadi “supranatural.” Tetapi dalam realita, alam terdiri dari alam material dan alam spiritual, masing-masing dengan hukumnya sendiri. Era Pencerahan, misalnya, memahami alam bukan sebagai keberadaan benda-benda fisik tetapi sebagai asal dan fondasi kebenaran. Ia tidak memperlawankan material dengan spiritual, istilah itu mencakup bukan hanya alam fisik tetapi juga alam intelektual dan moral.
Salah satu ciri yang paling menakjubkan dari alam semesta adalah keteraturan. Benak manusia sejak dulu menangkap keteraturan ini. Terbit dan tenggelamnya Matahari, peredaran planet-planet dan susunan bintang-bintang yang bergeser teratur dari malam ke malam sejak pertama kali manusia menyadari keberadaannya di dalam alam semesta, hanya merupakan contoh-contoh sederhana. Ilmu pengetahuan itu sendiri hanya menjadi mungkin karena keteraturan tersebut yang kemudian dibahasakan lewat hukum-hukum matematika. Tugas ilmu pengetahuan umumnya dapat dikatakan sebagai menelaah, mengkaji, menghubungkan semua keteraturan yang teramati. Ilmu pengetahuan bertujuan menjawab pertanyaan bagaimana dan mengapa. Namun khusus untuk kosmologi, pertanyaan ‘mengapa’ ini di titik tertentu mengalami kesulitan yang luar biasa.
Sebagai suatu telaah mengenai alam semesta, kosmologi abad ke-20 yang dikenal sekarang ini berkembang dan diterima sebagai sintesis besar berbagai cabang ilmu pengetahuan alam. Kosmologi ini berupaya memperoleh pengertian yang menyeluruh mengenai struktur spasial, temporal, dan komposisional alam semesta skala besar dengan maksud mempersatukan tampilan dan sifat alam semesta teramati ke dalam suatu hopitesis yang akan mendefinisikan struktur dan evolusinya.
Kosmologi mengalami kemajuan yang luar biasa pesat terutama karena dukungan kecanggihan piranti pengamatan astronomis, serta laboratorium fisika zarah yang mampu menyediakan ‘ruang-waktu’ mirip masa lampau alam semesta dini. Sementara teori-teori fisika kontemporer menyediakan tetapan-tetapan dasar yang memungkinkan perilaku berbagai tampilan alam semesta dalam skala yang berbeda-beda kian dimengerti.

5. Materealisme
Materialisme, asal katanya dari bahasa Inggris : Materialism, dan ajaran ini menekankan pada keunggulan faktor-faktor”material” atas yang “spiritual” dalam metafisika, teori nilai, fisiologi, epistemologi atau penjelasan historis.

Beberapa pengertian tentang Materialisme.
1. Di dalam materialisme tidak terdapat entitas-entitas nonmaterial seperti : roh, hantu, setan dan malaikat. Pelaku-pelaku immaterial tidak ada.
2. Tidak ada Allah atau dunia adikodrati/supranatural. Realitas satu-satunya adalah materi dan segala sesuatu merupakan manifestasi dari aktivitas materi.
3. Materi dan aktivitasnya bersifat abadi. Tidak ada Penggerak Pertama atau Sebab Pertama.
4. Tidak ada kehidupan, tidak ada pikiran yang kekal. Semua gejala berubah, akhirnya melampaui eksistensi, yang kembali lagi ke dasar material primordial, abadi, dalam suatu peralihan wujud yang abadi dari materi.

Ada sekitar enam macam Materialisme, tetapi yang cukup popular adalah Materialisme Dialektis Marx-Engel.
1. Teorinya :
1.1. Kemajuan sosial terjadi melalui perjuangan konflik, interaksi, dan oposisi (khususnya kelas-kelas ekonomi).
1.2. Perkembangan atau munculnya satu tingkat masyarakat lainnya tidak terjadi secara gradual tetapi dengan lompatan-lompatan yang tiba-tiba dan kadang-kadang bersifat katastrofik.
2. Proses pemikiran:
2.1. Mengamati bagaimana semua barang berkaitan timbal balik secara tidak dapat ditawar-tawar sebagai suatu keseluruhan.
2.2. Menerima keharusan/keniscayaan dari keseluruhan yang berkaitan timbal-balik (yang merupakan esensi dari kebebasan).
2.3. Menerima ketakterelakan perjuangan, konflik, kontradiksi, perubahan, dan munculnya kebaruan dalam alam semesta.
3. Konsepnya,
Menyangkut konsep perjuangan (ketegangan, perubahan, kekuatan- kekuatan yang berlawanan) sebagai dorongan yang sangat fundamental dalam segala hal, antara lain :
3.1. Berjuang untuk menjadi lain dari pada adanya sebelumnya.
3.2. Berjuang untuk menghindari rintangan.
3.3. Berjuang untuk mengatasi benda-benda lain. Materialisme dialektik juga mengangkat konsep kesatuan, hubungan timbal balik secara niscaya dan rasional dalam alam semesta. Kebenaran sempurna tercapai karena mengetahui kebenaran-kebenaran akan eksistensi hal partikular manapun dan mengetahui bagaimana hal partikular berhubungan dengan semua hal lainnya yang ada dan sudah ada dalam alam semesta.

6. Pragmatisme
Pragmatisme berasal dari kata pragma yang berarti Guna . Pragma berasal dari kata yunani. Maka Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar adalah apa saja yang membuktikan dirinya sebagai yang benar dengan akibat-akibat yang bermanfaat secara praktis. Misalnya, berbagai pengalaman pribadi tentang kebenaran mistik, asalkan dapat membawa kepraktisan dan bermanfaat. Artinya, segala sesuatu dapat diterima asalkan bermanfaat bagi kehidupan.
Tokohnya: William James (1842-1910) lahir di New York, yang memperkenalkan ide-idenya tentang pragmatism kepada dunia. Ia ahli dalam bidang seni, Psikologi, Anatomi, Fisiologi dan Filsafat.
Pemikiran filsafatnya lahir, karena dalam sepanjang hidupnya mengalami konflik antara pandangan ilmu pengetahuan dengan agama. Ia beranggapan, bahwa masalah kebenaran, tentang asal/tujuan dan hakikat bagi orang amerika terlalu teoritis. Yang ia inginkan adalah hasil-hasil yang kongkrit. Dengan demikian, untuk mengetahui kebenaran dari idea tau konsep haruslah diselidiki konsekuensi-konsekuensi praktisnya.
Karena metode yang dipakai sangat popular untuk dipakai dalam mengambil keputusan melakukan tidakan tertentu, dan menyangkut pengalaman manusia sendiri, filsafat ini pun segera menjadi popular.
Kaitannya dengan agama, apabila ide-ide agama dapat memperkaya kehidupan, maka ide-ide tersebut benar.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Auguste Comte, yang bernama lengkap Isidore Marie Auguste Francois Xavier Comte, di lahirkan di Montpellier Prancis selatan pada 17 Januari 1798. Dalam usia 25 tahun, Comte studi di Ecole Polytecnique di Paris dan sesudah dua tahun di sana dia mempelajari pikiran-pikiran kaum ideolog. Saint-Simon menerimanya sebagai sekretarisnya, dan sulit dipungkiri bahwa pemikiran Saint-Simon mempengaruhi perkembangan intelektual Comte. Mereka cocok dengan pandangan bahwa reorganisasi masyarakat bisa dilakukan dengan bantuan ilmu pengetahuan baru tentang perilaku manusia dan masyarakatnya. Tapi ada juga ketidakcocokan diantara mereka yang akhirnya Comte memisahkan diri dari Saint-Simon.
Comte menjelaskan bahwa munculnya ilmu-ilmu alam tak bisa dipahami secara terlepas dari sejarah perkembangan pengetahuan umat manusia dari abad ke abad. Sejarah pengetahuan itu berkembang melalui tiga tahap yang ia sebut “tahap teologis”, “tahap metafisis”, dan “tahap positif” yaitu tahap-tahap perkembangan mental umat manusia sebagai suatu keseluruhan.
Filsafat Positif yang digagas Augiste Comte ini adalah hasil konfigurasi dari hukum-hukum dasar filsafat Rasionalisme dan Empirisme. Comte telah merujuk pada rasonalisme yang dikembangkan oleh Descartes dan pada ilmu pengetahuan alam seperti yang dikembangkan oleh Galileo Galilei Isac Newton, dan Francis Bacon.
Comte mempunyai keyakinan epistemologis dan metodologis yang sangat kuat. Penolakan Comte atas cara berpikir teologis dan metafisis, serta usahanya untuk merumuskan suatu ilmu pengetahuan positif yang bersifat obyektif, ilmiah, dan universal, pada akhirnya membawa dirinya pada ilmu pasti (the science of number). Tanpa ilmu pasti (matematika atau metafisis), ilmu pegetahuan akan kemali menjadi metafisis.

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Zainal. 2006. Filsafat Manusia Memahami Manusia Melalui Filsafat. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Adian, Dony Gahral. 2006. Percik Pemikiran Kontemporer Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Jalasutra Anggota IKAPI
Akmadi, Asmoro,1997. Filsafat Umum: Jakarta PT. Raja Grafindo Persada
Hardiman, F.Budi. 2004. Filsafat Modern, dari Machiavelli Sampai Nietzche. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Maksum, Ali. 2008. Pengantar Filsafat: Dari masa klasik hingga Posmodernisme. Jogjakarta: AR-RUZZ MEDIA
Muslih, Muhammad. 2005. Filsafat Umum – Cet. 1. Yogyakarta : Belukar
Praja, Juhaya. 2003. Aliran-Aliran Filsafat dan Etika. Jakarta: PRENADA MEDIA
Surajiyo. 2005. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta : PT. Bumi Aksara.
Tafsir, Ahmad. 2005. Filsafat Umum, Akal dan Hati Sejak Thaes Sampai Capra. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

No comments:

Post a Comment