Oleh
: Ahmad Aly Syukron AM
Pascasarjana
STAIN Kediri
Landasan Kurikulum 2013
Kurikulum 2013 Sudah sesuai dengan perkembangan Pendidikan
yang ada di Indonesia. Kurikulum 2013 lahir dilandasi dengan berbagai fenomena
di masyarakat. Diantaranya, kemajuan teknologi informasi, masalah globalisasi,
merosotnya moral dikalangan pelajar seperti perkelahian pelajar, narkoba,
kecurangan dalam ujian, dan pandangan masyarakat yang menganggap pendidikan
menitikberatkan aspek kognitif serta beban siswa dalam menerima pelajaran pun
terlalu berat karena banyaknya mata pelajaran. Selain itu juga, kurangnya
muatan pendidikan karakter siswa juga menjadi faktor utama munculnya kurikulum
2013.
Dokumen Kurikulum 2013 yang dikeluarkan oleh Kemendikbud, pada
tanggal 29 Nopember 2012 dalam bentuk power point pdf yang terdiri dari 99
halaman ditambah 2 halaman Kata Pengantar khusus yang dikeluarkan oleh Kapusbuk
Kemendikbud. Mengacu pada permendiknas tentang No. 22/2006 Standar Isi,
Permendiknas tentang No. 23/2006 Standar Kompetensi Lulusan, Permendiknas
tentang 20/200 Standar Penilaian Pendidikan dan Permendiknas tentang No.
41/2007 Standar Proses untuk Satuan Proses untuk Satuan Pendidikan Dasar dan
Menengah. Keempat Permendiknas tersebut ditulis sesuai dengan kerangka produk
hukum yang secara garis besar terdiri atas:
- Konsideran menimbang, mengingat, memperhatikan, menetapkan
- Ketentuan yang berisi pengertian yang digunakan pada produk hukum terkait
- Batang tubuh isi
- Ketentuan penutup
Model kurikulum 2013 menunjukkan bahwa pada tingkat
pendidikan dasar lebih Integrated dan Correlated yang lebih sesuai dengan
fundamen dan esensi pendidikan dasar sebagai basic/fundamental education.
Sedangkan pada tingkat pendidikan menengah melakukan separated yang menuju spesialisasi.
Hal ini yang membuat kurikulum 2013 mendatangkan hal-hal yang baru seperti
pembelajaran tematik integrative pada SD, tidak adanya istilah mata pelajaran
IPA dan IPS di SD serta memberikan keringanan pada guru yang tidak perlu
menyusun Silabus dan RPP yang dikarenakan akan disiapkan buku babon (buku
pokok) oleh Kemendikbud. Kemudian juga adanya penerapan SKS pada sekolah
menengah berkategori mandiri.
Kelebihan Kurikulum 2013:
- Perubahan proses pembelajaran (dari siswa diberi tahu mencari tahu) dan proses penilaian (dari berbasis output menjadi berbasis proses dan output) yang memerlukan penambahan jam pelajaran
- Mewujudkan sosok KTSP Subtantif: pendidikan berbasis kebutuhan dan potensi lokal (muatan lokal diwadahi Kurda, hidden curiculum yang diakomodasi dalam kepramukaan, KSR, UKS. Kegiatan ekstrakurikuler dilakukan di masyarakat, alam dan sekolah).
- Kurikulum 2013 ini bertujuan untuk memberikan pendidikan jiwa dan raga secara implementatif serta bertujuan untuk keberhasilan siswa di bidang ilmu pengetahuan serta berkarakter mulia dan berwawasan kebangsaan secara Nasional.
Kekurangan kurikulum 2013:
- Kurikulum 2013 sebagai ajang proyek pencitraan Kemendikbud diakhir kepengurusan dengan meningkatkan hasil kinerja yang mempu memberikan solusi terhadap permasalahan di dalam dunia pendidikan.
- Kurikulum 2013 dinilai produk instan dengan melakukan sosialisasi waktu yang relatif singkat serta tidak adanya evaluasi-akademik terhadap kurikulum sebelumnya secara signifikan. Selain itu juga perubahan kurikulum di luar Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Serta bertentangan dengan PP No. 19 tahun2005 mengenai standar nasional pendidikan.
- Kurikulum 2013 dinilai sebagai ladang ‘korupsi’. Dikarenakan anggaran kurikulum ini meningkat drastis dari 684,4 Miliar menjadi 2,49 Triliun. Anggaran kurikulum 2013 ini salah satunya akan digunakan untuk pembuatan buku babon (buku pokok) yang disusun mepet dan juga pelatihan untuk guru inti dan guru massal 52 jam pertemuan yang setara 5 hari.
- Kurikulum 2013 ini membuat ketidakpercayaan terhadap guru dengan disediakannya silabus dan buku babon. Guru hanya menjadi ‘operator’ mengajar bukan mendidik.
Peristiwa Sosiologis yang menandai
munculnya Kurikulum 2013:
Pergantian
kurikulum 2013 ini penyebabnya bukan hanya karena semangat zaman yang berubah,
melainkan kepemimpinan politik yang kemudian acuannya adalah kepentingan
ekonomi global. Masyarakat melihat adanya kepentingan yang saling bersaing dan
arena pertikaian dalam dunia pendidikan. Begitu pun negara sebagai alat pemaksa yang dipakai oleh pemerintah untuk membuat para guru tunduk
pada kemauannya. Dengan adanya buku babon yang mengekang kreativitas guru.
Sehingga siswa yang menjadi objek akan selalu dalam keadaan dilematis.
Perubahan seperti pengurangan mata pelajaran namun menambah jam pelajaran
merupakan konflik yang terjadi atas pertikaian pemerintah yang memaksa
kehendaknya sesuai dengan tuntutan zaman. Seperti yang diungkapkan oleh Marx, birokrasi adalah alat
eksploitasi kaum borjuis terhadap kaum proletar.
Konten Materi Sosiologi:
Pada kurikulum 2013 tingkat SMA, mata pelajaran sosiologi
dipadukan dengan antropologi. Hal ini juga memberikan sedikit perbedaan konsep
yang ada di dalam KTSP, tetapi tidak ada dalam kurikulum 2013. Antara lain
adalah interaksi sosial dan lembaga sosial. Tak hanya itu saja kurikulum ini
pun lebih komprehensif dan mencerminkan pendidikan yang utuh, karena menyatukan
keyakinan, sikap, pengetahuan dan tindakan. Hal itulah yang menjadi beban berat
guru yang harus mampu mengintegrasikan semuanya. Karena kurikulum ini juga
menggunakan pendekatan student center
atau pembelajaran siswa aktif.
Ada
beberapa tinjauan tentang landasan Kurikulum 2013, antara lain landasan
filosofis, Teoritis, Yuridis, Psikologis, Empiris & Sosiologis.
A. Landasan filosofis
Dalam pengembangan kurikulum
menentukan kualitas peserta didik yang akan
dicapai kurikulum, sumber dan isi dari kurikulum, proses pembelajaran, posisi
peserta didik, penilaian hasil belajar, hubungan peserta didik dengan
masyarakat dan lingkungan alam di sekitarnya.
Kurikulum 2013 dikembangkan dengan
landasan filosofis yang memberikan dasar bagi pengembangan seluruh potensi
peserta didik menjadi manusia Indonesia berkualitas yang tercantum dalam tujuan
pendidikan nasional.
Pada dasarnya tidak ada satupun
filosofi pendidikan yang dapat digunakan secara spesifik untuk pengembangan
kurikulum yang dapat menghasilkan manusia yang berkualitas. Berdasarkan hal
tersebut, Kurikulum 2013 dikembangkan menggunakan filosofi sebagai berikut:
1. Pendidikan berakar pada budaya bangsa untuk
membangun kehidupan bangsa masa kini dan masa mendatang. Pandangan ini
menjadikan Kurikulum 2013 dikembangkan berdasarkan budaya bangsa Indonesia yang
beragam, diarahkan untuk membangun kehidupan masa kini, dan untuk membangun
dasar bagi kehidupan bangsa yang lebih baik di masa depan. Mempersiapkan
peserta didik untuk kehidupan masa depan selalu menjadi kepedulian kurikulum,
hal ini mengandung makna bahwa kurikulum adalah rancangan pendidikan untuk
mempersiapkan kehidupan generasi muda bangsa. Dengan demikian, tugas
mempersiapkan generasi muda bangsa menjadi tugas utama suatu kurikulum. Untuk
mempersiapkan kehidupan masa kini dan masa depan peserta didik, Kurikulum 2013
mengembangkan pengalaman belajar yang memberikan kesempatan luas bagi peserta
didik untuk menguasai kompetensi yang diperlukan bagi kehidupan di masa kini
dan masa depan, dan pada waktu bersamaan tetap mengembangkan kemampuan mereka
sebagai pewaris budaya bangsa dan orang yang peduli terhadap permasalahan masyarakat
dan bangsa masa kini.
2. Peserta didik adalah pewaris budaya bangsa yang
kreatif. Menurut pandangan filosofi ini, prestasi bangsa di berbagai bidang
kehidupan di masa lampau adalah sesuatu yang harus termuat dalam isi kurikulum
untuk dipelajari peserta didik. Proses pendidikan adalah suatu proses yang
memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan potensi dirinya
menjadi kemampuan berpikir rasional dan kecemerlangan akademik dengan
memberikan makna terhadap apa yang dilihat, didengar, dibaca, dipelajari dari
warisan budaya berdasarkan makna yang ditentukan oleh lensa budayanya dan
sesuai dengan tingkat kematangan psikologis serta kematangan fisik peserta
didik. Selain mengembangkan kemampuan berpikir rasional dan cemerlang dalam akademik,
Kurikulum 2013 memposisikan keunggulan budaya tersebut dipelajari untuk
menimbulkan rasa bangga, diaplikasikan dan dimanifestasikan dalam kehidupan
pribadi, dalam interaksi sosial di masyarakat sekitarnya, dan dalam kehidupan
berbangsa masa kini.
3. Pendidikan ditujukan untuk mengembangkan kecerdasan
intelektual dan kecemerlangan akademik melalui pendidikan disiplin ilmu.
Filosofi ini menentukan bahwa isi kurikulum adalah disiplin ilmu dan
pembelajaran adalah pembelajaran disiplin ilmu (essentialism). Filosofi ini
mewajibkan kurikulum memiliki nama matapelajaran yang sama dengan nama disiplin
ilmu, selalu bertujuan untuk mengembangkan kemampuan intelektual dan
kecemerlangan akademik.
4. Pendidikan untuk membangun kehidupan masa kini dan
masa depan yang lebih baik dari masa lalu dengan berbagai kemampuan
intelektual, kemampuan berkomunikasi, sikap sosial, kepedulian, dan
berpartisipasi untuk membangun kehidupan masyarakat dan bangsa yang lebih baik
(experimentalism and social reconstructivism). Dengan filosofi ini, Kurikulum
2013 bermaksud untuk mengembangkan potensi peserta didik menjadi kemampuan
dalam berpikir reflektif bagi penyelesaian masalah sosial di masyarakat, dan
untuk membangun kehidupan masyarakat demokratis yang lebih baik.
Dengan demikian, Kurikulum 2013
menggunakan filosofi sebagaimana di atas dalam mengembangkan kehidupan individu
peserta didik dalam beragama, seni, kreativitas, berkomunikasi, nilai dan
berbagai dimensi inteligensi yang sesuai dengan diri seorang peserta didik dan diperlukan
masyarakat, bangsa dan ummat manusia.
B. Landasan Teoritis
Kurikulum 2013 dikembangkan atas
teori “pendidikan berdasarkan standar” (standard-based education), dan teori
kurikulum berbasis kompetensi (competency-based curriculum). Pendidikan berdasarkan
standar menetapkan adanya standar nasional sebagai kualitas minimal warganegara
yang dirinci menjadi standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan,
standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar
pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan. Kurikulum
berbasis kompetensi dirancang untuk memberikan pengalaman belajar
seluas-luasnya bagi peserta didik dalam mengembangkan kemampuan untuk bersikap,
berpengetahuan, berketerampilan, dan bertindak.
Kurikulum 2013 menganut: (1)
pembelajaan yang dilakukan guru (taught curriculum) dalam bentuk proses yang
dikembangkan berupa kegiatan pembelajaran di sekolah, kelas, dan masyarakat;
dan (2) pengalaman belajar langsung peserta didik (learned-curriculum) sesuai
dengan latar belakang, karakteristik, dan kemampuan awal peserta
didik. Pengalaman belajar langsung individual peserta
didik menjadi hasil belajar bagi dirinya, sedangkan hasil belajar seluruh
peserta didik menjadi hasil kurikulum.
C. Landasan Yuridis
Landasan yuridis Kurikulum 2013 adalah:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
2. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional;
3. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2005 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang
Nasional, beserta segala ketentuan yang dituangkan Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional; dan
4. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah
Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
D.
Landasan Psikologis
Dengan menerapkan landasan psikologi dalam proses
pengembangan kurikulum diharapkan dapat diupayakan pendidikan yang dilaksanakan
relevan dengan hakikat peserta didik, baik penyesuaian dari segi materi/bahan
yang harus diberikan/dipelajari peserta didik, maupun dari segi penyampaian dan
proses belajar serta penyesuaian dari unsur–unsur upaya pendidikan lainnya.
Pada dasarnya terdapat dua cabang ilmu psikologi yang
berkaitan erat dalam proses pengembangan kurikulum, yaitu psikologi
perkembangan dan psikologi belajar. Psikologi perkembangan
merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu berkenaan dengan
perkembangannya. Dalam psikologi perkembangan dikaji tentang hakekat
perkembangan, pentahapan perkembangan, aspek-aspek perkembangan, tugas-tugas
perkembangan individu, serta hal-hal lainnya yang berhubungan perkembangan
individu, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan
mendasari pengembangan kurikulum. Psikologi belajar merupakan ilmu yang
mempelajari tentang perilaku individu dalam konteks belajar. Psikologi belajar
mengkaji tentang hakekat belajar dan teori-teori belajar, serta berbagai aspek
perilaku individu lainnya dalam belajar, yang semuanya dapat dijadikan sebagai
bahan pertimbangan sekaligus mendasari pengembangan kurikulum.
Karakteristik perilaku tiap individu pada tiap tingkat
perkembangan merupakan kajian yang terdapat dalam cabang psikologi
perkembangan. Oleh sebab itu, dalam pengembangan kurikulum yang
senantiasa berhubungan dengan program pendidikan untuk kepentingan peserta
didik, maka landasan psikologi mutlak harus dijadikan dasar dalam proses
pengembangan kurikulum. Perkembangan yang dialami oleh peserta didik pada
umumnya diperoleh melalui proses belajar. Guru sebagai pendidik harus
mengupayakan cara/metode yang lebih baik untuk melaksanakan proses pembelajaran
guna mendapatkan hasil yang optimal, dalam hal ini proses pembelajaran mutlak
diperlukan pemikiran yang mendalam dengan memperhatikan psikologi belajar.
Psikologi perkembangan diperlukan terutama dalam hal
penentuan isi kurikulum yang diberikan/dipelajari peserta didik, baik tingkat
kedalaman dan keluasan materi, tingkat kesulitan dan kelayakannya serta
manfaatnya yang disesuaikan dengan tahap dan tugas perkembangan peserta didik.
Psikologi belajar memberikan sumbangan terhadap pengembangan kurikulum terutama
berkenaan dengan bagaimana kurikulum itu diberikan kepada peserta didik dan
bagaimana peserta didik harus mempelajarinya, berarti berkenaan dengan strategi
pelaksanaan kurikulum.
Kajian psikologis menyatakan bahwa anak akan lebih mudah mempelajarai hal
yang konkrit ketimbang yang abstrak. Berkaitan dengan continuum konkret-abstrak
dan kaitannya dengan penggunaan media pembelajaran, ada beberapa pendapat.
Pertama, bahwa dalam proses pembelajaran hendaknya menggunakan urutan dari
belajar dengan gambaran atau film ( iconic representation of experiment)
kemudian ke belajar dengan simbol , yaitu menggunakan kata-kata (symbolic
representation). Hal ini juga berlaku tidak hanya untuk anak, tetapi juga
untuk orang dewasa. Kedua, bahwa sebenarnya nilai dari media terletak pada
tingkat realistiknya dalam proses penanaman konsep, ia membuat jenjang berbagai
jenis media mulai yang paling nyata ke yang paling abstrak. Ketiga, membuat
jenjang konkrit-abstrak dengan dimulai dari siswa yang berpartisipasi dalam
pengalaman nyata, kmeudian menuju siswa sebagai pengamat kejadian nyata, dilanjutkan
ke siswa sebagai pengamat terhadap kejadian yang disajikan dengan media, dan
terakhir siswa sebagai pengamat kejadian yang disajikan dengan symbol. Jenjang
konkrit-abstrak ini ditunjukkan dengan bagan dalam bentuk kerucut pengalaman (cone
of experiment).
E. Landasan Empiris
Sebagai
negara bangsa yang besar dari segi geografis, suku bangsa, potensi ekonomi, dan
beragamnya kemajuan pembangunan dari satu daerah ke daerah lain, sekecil apapun
ancaman disintegrasi bangsa masih tetap ada. Maka, kurikulum harus mampu
membentuk manusia Indonesia yang mampu menyeimbangkan kebutuhan individu dan
masyarakat untuk memajukan jatidiri sebagai bagian dari bangsa Indonesia dan
kebutuhan untuk berintegrasi sebagai satu entitas bangsa Indonesia.
Berbagai
elemen masyarakat telah memberikan kritikan, komentar, dan saran berkaitan
dengan beban belajar siswa, khususnya siswa sekolah dasar. Beban belajar ini
bahkan secara kasatmata terwujud pada beratnya beban buku yang harus dibawa ke
sekolah. Beban belajar ini salah satunya berhulu dari banyaknya matapelajaran
yang ada di tingkat sekolah dasar. Maka, kurikulum pada tingkat sekolah dasar
perlu diarahkan kepada peningkatan 3 (tiga) kemampuan dasar, yakni baca, tulis,
dan hitung, dan pembentukan karakter.
Pada saat ini, upaya
pemenuhan kebutuhan manusia telah secara nyata mempengaruhi secara negatif
lingkungan alam. Pencemaran, semakin berkurangnya sumber air bersih adanya
potensi rawan pangan pada berbagai belahan dunia, dan pemanasan global merupakan tantangan yang
harus dihadapi generasi muda di masa kini dan di masa yang akan datang.
Kurikulum seharusnya juga diarahkan untuk membangun kesadaran dan kepedulian
generasi muda terhadap lingkungan alam dan menumbuhkan kemampuan untuk
merumuskan pemecahan masalah secara kreatif terhadap isu-isu lingkungan dan
ketahanan pangan.
Dengan
berbagai kemajuan yang telah dicapai, mutu pendidikan Indonesia harus terus
ditingkatkan. Hasil riset PISA (Program for International Student Assessment), studi yang memfokuskan pada literasi bacaan,
matematika, dan IPA menunjukkan peringkat Indonesia baru bisa menduduki
10 besar terbawah dari 65 negara. Hasil Riset TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study) menunjukkan
siswa Indonesia berada pada rangking amat rendah
dalam kemampuan (1) memahami informasi yang komplek, (2) teori, analisis dan
pemecahan masalah, (3) pemakaian alat, prosedur dan pemecahan masalah dan (4)
melakukan investigasi. Hasil-hasil ini menunjukkan perlu ada perubahan
orientasi kurikulum, dengan tidak membebani peserta didik dengan konten namun
pada aspek kemampuan esensial yang diperlukan semua warga negara untuk berperan serta
dalam membangun negaranya pada abad 21.
F. Landasan Sosiologis
Berbicara mengenai landasan sosiologis sebuah kurikulum,
maka kita juga pasti akan sedikit banyak bersinggungan dengan keadaan sosial,
masyarakat dan budaya. Karena faktanya, budaya tidak bisa dilepaskan dari aspek
sosial kemasyarakatan. Budaya merupakan hasil dari interaksi sosial yang
terjadi melalui ide-ide yang mucul dari sebuah komunitas manusia (masyarakat).
Ciri universal dari manusia adalah hidup secara berkelompok,
dan pasti membutuhkan orang lain. Manusia lahir belajar dan tumbuh dari
masyarakat. Tidak ada satupun manusia yang dapat hidup tanpa bantuan orang lain.
Masyarakat
adalah suatu sistem, yang di dalamnya ada beberapa subsistem yang berjenjang
secara struktural, mulai dari subsistem kepercayaan, nilai, dan subsistem
kebutuhan.
Subsitem-subsistem tersebut mempunyai korelasi yang saling
terkait. Masyarakat sebagai sistem mampu proses pendidikan, oleh karenanya,
masyarakat harus dipertimbangkan dalam penyusunan sebuah kurikulum.
Sekolah adalah sebuah institusi sosial yang ditujukan untuk
memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Oleh karena itu wajar jika dalam
penyusunan kurikulum sekolah lebih banyak dipengaruhi oleh kekuatan sosial yang
berkembang dan selalu berkembang di dalam masayarakat. Pengaruh tersebut
berdampak pada komponen-komponen kurikulum seperti tujuan pendidikan, siswa,
isi kurikulum, maupun situasi sekolah tempat kurikulum dilaksanakan.
Para pengembang kurikulum itu sendiri memiliki tugas untuk
mempelajari dan memahami kebutuhan masyarakat sebagaimana dirumuskan dalam
undang- undang, peraturan, keputusan pemerintah dan lain-lain; menganalisis
masyarakat dimana sekolah berada; menganalisis syarat dan tuntutan terhadap
tenaga kerja; menginterpretasi kebutuhan individu dalam ruang lingkup
kepentingan masyarakat.
James W. Thornton seperti yang dikutip Prof. Oemar Hamalik,
mengatakan bahwa setidaknya ada empat kelompok kekuatan sosial yang
mempengaruhi kurikulum. Di antaranya :
1.
Kekuatan sosial yang resmi, yang terdiri atas :
a. Pemerintah suatu Negara, melalui
UUD dan ideologi negara.
b. Pemerintah daerah, melalui
kebijakannya.
c. Perwakilan departemen pendidikan
setempat
2.
Kekuatan sosial setempat, yang terdiri atas :
a. Yayasan yang bergerak di bidang
pendidikan.
b. Kerukunan atau persatuan keluarga
sekolah-sekolah sejenis
c. Perguruan tinggi.
d. Persatuan orang tua murid.
e. Penerbit buku-buku pelajaran
f. Media massa
g. Adat kebiasan masyarakat setempat
3.
Organisasi profesional, seperti persatuan guru, dokter dan ahli hukum.
4.
Kelompok atau organisasi yang bergerak berdasarkan kepentingan tertentu,
seperti kelompok patriotik dan sebagainya.
Seperti yang telah kami singgung di atas, bahwa ada beberapa
pakar yang menggunakan istilah masyarakat dan budaya sebagai pengganti dari
istilah sosiologis. Hal ini dipakai juga oleh Prof.Oemar Hamalik, beliau
membagi pembahasannya menajdi dua bagian yaitu masyarakat dan budaya.
Dalam
studi antropologi dan sosiologi akan ditemukan sejumlah pengertian “kebudayaan”
antara yang satu dengan yang lainnya. Sebagai contoh, Selo Sumarjan dan
Sulaiman Sumardi merumuskan bahwa kebudayaan adalah hasil dari karya,
rasa dan cipta masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan
kebudayaan kebendaan. Rasa meliputi jiwa manusia yang diwujudkan dalam
norma-norma dan nilai-nilai, dan cipta merupakan pikiran orang-orang dalam
hidup bermasyarakat.
Berbeda
dengan pendapat di atas, Maurich Boyd seperti yang dikutip Oemar Hamalik,
mengatakan bahwa hasil karya manusia yang bersifat material bukan termasuk
kebudayaan, seperti teknologi, karena ia merupakan hasil produksi dari
kebudayaan dan hanya merupakan aspek esensial dari sebuah kebudayaan.
Dari
dua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa budaya merupakan lingkungan
sosial manusia, dalam arti yang luas dan menyeluruh, yang terkait dengan
masyarakat tertentu.
Kebudayaan
mempunyai dimensi yang kompleks. Karena itu dalam prakteknya kita tidak dapat
melihat berbagai dimensi kebudayaan yang terpisah. Walaupun demikian untuk
kepantingan analisis, para pakar menggolongkan unsure dimensi kebudayaan
menjadi enam, yaitu keluarga, pendidikan, politik, ekonomi, agama, dan teknologi.
REFERENSI
Sadiman, Arif.dkk. 2007. Media Pendidikan: Pengertian,
Pengembangan dan Pemanfaatannya. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Ibrahim, H, dkk. 2000. Media
Pembelajaran. Malang: Universitas negeri Malang.
Widyadani, SB. 2008. Media dan pembelajarannya.
Bandung: CV media Perkasa.
Oemar
Hamalik. 2011. Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum, ed. Boike Ramadhani, Bandung
: Remaja Rosdakarya.
Abdullah
Idi. 2011. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik, Jogjakarta : Ar-ruz
Media.
Syarifudin
Nurdin. 2003. Guru Profesional dan Implementasi Kurikulum, Cet. 2, Jakarta
: Ciputat Press.
No comments:
Post a Comment