This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Gambar Motivasi Sukses

Gambar Motivasi Sukses
Untuk Selalu di Ingat!

Thursday, June 16, 2011

Pemimpin

Pemimpin adalah salah satu elemen yang sangat penting dalam segala aspek kehidupan. Karena pemimpin memiliki peranan yang sangat vital dalam rangka untuk mencapai satu tujuan. Selain itu, seorang pemimpin juga memiliki andil yang sangat besar bahkan utama dalam mengarahkan pencapaian suatu tujuan melalui jalur-jalur yang diridhai oleh Allah swt.

Dalam era yang serba kompleks dan semakin kompleks ini baik dalam segi aktivitas maupun permasalahannya, figur seorang pemimpin yang baik telah menjadi satu kelangkaan yang luar biasa. Tentunya, figur yang baik ini tidak lain adalah dilihat dari sudut pandang Islam. Karena, hanya Islamlah yang mengajarkan kepada manusia untuk senantiasa menjadi pemimpin yang baik dan menjalankan kepemimpinan tersebut dengan baik. Karena setiap pemimpin akan bertanggungjawab atas kepemimpinannya kelak kepada Allah swt. Karena di dalam ajaran Islam telah disampaikan bahwa setiap diri atau setiap manusia itu pada dasarnya adalah pemimpin. Minimal, ia adalah pemimpin bagi diri sendiri untuk membawa langkah kehidupannya senantiasa berada di atas jalur yang diridhai oleh Allah swt dalam segala hal.

Beberapa penjelasan di atas menjadi salah satu alasan mengapa pemimpin dan kepemimpinan menjadi salah satu pokok bahasan yang terdapat di dalam Islam, bahkan Islam sangat memperhatikan masalah pemimpin dan atau kepemimpinan tersebut.

Pemimpin adalah kompas dan peta yang akan menunjukkan kemana kehidupan ini harus melangkah dan dibawa. Tanpa kompas dan peta, maka perjalanan hidup dapat dengan mudah tersesat. Pemimpin adalah kompas dan peta yang berkualitas tinggi, yang tidak mudah koyak atau rusak sehingga arah dan tujuannya akan tetap jelas. Pemimpin adalah kompas dan peta berkualitas tinggi yang dapat bertahan dalam berbagai perlakuan, sehingga ia dapat memberikan arah dan petunjuk yang benar, tidak membawa kepada kesesatan dan kebinasaan.

Pemimpin adalah ujung tombak dari sebuah kehidupan, jika ujung tombak itu tumpul maka kehidupan akan vakum, tidak berdaya guna, tidak efektif. Untuk itu, Islam memberikan banyak sekali petunjuk kepada manusia yang pada dasarnya adalah seorang pemimpin untuk menjalani kepemimpinannya.

Ada beberapa hal yang hendaknya terdapat atau dimiliki oleh setiap pemimpin yang akan menjalankan kepemimpinannya, sehingga kepemimpinannya dapat mencapai tujuan namun tetap dalam ridha Allah swt, bukan mencapai rujuan dengan cara yang dilaknat atau menimbulkan murka Allah swt. Berikut ini adalah beberapa hal yang dalam kacamata Islam hendaknya harus ada di dalam jiwa setiap pemimpin sehingga ia dapat membawa orang-orang yang berada di dalam kepemimpinannya menuju keselamatan di dunia dan di akhirat:

Jujur

Pemimpin adalah panutan bagi orang-orang yang berada di dalam kemimpinannya. Oleh sebab itu, seorang pemimpin harus memiliki sifat jujur. Jujur dalam perkataan dan perbuatan, sehingga antara apa yang disampaikannya melalui lisan seiring dengan apa yang senantiasa diperbuatnya.

Orang yang tidak memiliki sifat jujur tidaklah layak menjadi seorang pemimpin, karena orang semacam ini adalah termasuk salah satu orang yang dilaknat oleh Allah swt dan Rasulullah saw. Allah swt berfirman di dalam Al Quran yang artinya:

“Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya): “Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya la’nat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta” (QS. Al Imran:61)

Selain itu, orang yang tidak jujur tidak berhak menjadi seorang pemimpin, karena sesungguhnya ia adalah termasuk pada golongan orang-orang munafik.

“Tanda-tanda orang munafik ada tiga perkara, yaitu apabila berbicara dia dusta, apabila berjanji dia mungkiri dan apabila diberi amanah dia mengkhianati.” (HR. Bukhari, Kitab-Iman: 32)

Kejujuran adalah salah satu sifat mutlak yang harus dimiliki oleh setiap pemimpin, baik jujur kepada diri sendiri maupun jujur kepada orang lain. Kejujuran ini juga telah dicontohkan oleh pemimpin bagi seluruh umat Islam, Rasulullah saw. Sedikitpun beliau tidak pernah berdusta atau berkhianat dalam hal apapun dan kepada siapapun.

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah swt dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al Ahzab:21)

Amanah

Kepemimpinan merupakan salah satu amanah yang sangat besar dan berat. Sebuah amanah yang dipenuhi dengan godaan yang sangat menggiurkan. Tidak sedikit manusia yang tergelincir karena tidak mampu melaksanakan amanah tersebut dengan baik. Oleh karena itu, Islam mengajarkan bahwa setiap pemimpin haruslah memiliki sifat yang amanah.

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An Nisaa:58)

Seseorang yang tidak memiliki sifat amanah tidak berhak menjadi seorang pemimpin, karena ia termasuk pada golongan orang-orang munafik.

“Tanda-tanda orang munafik ada tiga perkara, yaitu apabila berbicara dia dusta, apabila berjanji dia mungkiri dan apabila diberi amanah dia mengkhianati.” (HR. Bukhari, Kitab-Iman: 32)

Kompeten

Kemudian, Islam juga mengajarkan bahwa tidak seluruh manusia itu dapat diangkat sebagai pemimpin suatu kaum, kelompok, organisasi atau suatu urusan tertentu. Untuk mengangkat seorang pemimpin, kita harus melihat seberapa besar kemampuan orang yang akan dipilih tersebut mengenai bidang atau pokok permasalahan yang bersangkutan. Tidak boleh memilih atau mengangkart seorang pemimpin secara sembarangan.

Kompetensi atau kemampuan dalam bidang yang dimaksudkan harus menjadi tolak ukur untuk memilih atau mengangkat seorang pemimpin. Jangan memilih orang-orang yang tidak mampu atau tidak memiliki keahlian (kemampuan) dalam bidang yang dimaksudkan untuk menjadi seorang pemimpin. Karena, bukan kepemimpinan yang nanti akan diberikannya, melainkan kehancuran karena kurang atau tidak adanya kemampuan dalam bidang yang dimaksudkan.

Rasulullah saw bersabda: “’Apabila amanah telah disia-siakan, maka tunggulah kehancuran’ Sahabat bertanya, ‘Bagaimana menyia-nyiakannya?’ Rasulullah saw menjawab, ‘Apabila suatu urusan diserahkan kepada orang-orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya’” (HR. Imam Bukhari).

Inspiratif

Seorang pemimpin haruslah memiliki pemikiran-pemikiran yang membangun dan mampu memotivasi para pengikutnya. Ia harus mampu menjadi ombak bagi lautan yang tenang, menjadi api dalam kedinginan yang membeku, dan menjadi halilintar dalam keheningan yang membisu.

Seorang pemimpin harus senantiasa mampu membangun semangat para pengikutnya sehingga mereka tidak terdampar dalam kehampaan atau ketidakberdayaan.

Seorang pemimpin harus mampu mempengaruhi para pengikutnya untuk dapat bergerak sebagaimana jalan pikirannya, tentunya jalan pikiran yang senantiasa dilandasi oleh syariat Islam, bukan jalan pikiran yang berdasarkan hawa nafsu semata. Hal ini sebagaimana telah dilakukan oleh Rasulullah saw dalam menjalankan kepemimpinannya.

“Dan orang-orang yang bersama dengan dia (Muhammad) adalah keras terhadap orang-orang kafir tetapi berkasih sayang dengan sesama mereka” (QS. Al-Fath:29).

Seorang pemimpin hendaknya mampu menghidupkan jiwa para pengikutnya dengan segala tindakan yang inspiratif, baik lisan, tulisan, maupun dalam perbuatan.

“Sesungguhnya seorang hamba berbicara dengan sebuah perkataaan yang belum jelas bermanfaat baginya sehingga membuat ia terperosok ke dalam api Neraka lebih jauh daripada jarak timur dan barat.” (Muttafaq ‘alaih)

Sabar

Salah satu hal yang pasti harus dihadapi oleh seorang pemimpin adalah permasalahan. Berbagai macam permasalahan, mulai dari permasalahan pribadi, permasalahan pengikutnya, permasalahan kepemimpinannya, dan lain-lain pasti akan mendatangi seorang pemimpin mau atau tidak mau. Seorang pemimpin dituntut untuk dapat menghadapi berbagai permasalahan tersebut dengan sikap yang sabar dan bijaksana, dan menyelesaikan masalah tersebut secepat mungkin namun bukan dengan tergesa-gesa. Itulah sebabnya, sabar menjadi salah satu persyaratan yang harus dimiliki oleh seorang pempimpin.

Sifat sabar itu sendiri juga memiliki kedudukan yang cukup tinggi di dalam pandangan Islam.

“…sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar” (QS. Al Baqarah:153)

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al ‘Ashr:1-3)

Kesabaran inilah yang juga menjadi salah satu modal dasar dalam menysiarkan Islam sebagaimana firman Allah swt di dalam Al Quran yang artinya:

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS. Ali Imran: 159)

Berikut ini adalah beberapa contoh keteladanan Rasulullah saw berkenaan dengan sifat sabar:

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha menuturkan:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah sama sekali memukul seorang pun dengan tangannya kecuali dalam rangka berjihad di jalan Allah. Beliau tidak pernah memukul pelayan dan kaum wanita. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah membalas suatu aniaya yang ditimpakan orang atas dirinya. Selama orang itu tidak melanggar kehormatan Allah Namun, bila sedikit saja kehormatan Allah dilanggar orang, maka beliau akan membalasnya semata-mata karena Allah.” (HR. Ahmad)

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengisahkan: “Suatu kali aku berjalan bersama Rasulullah saw, beliau mengenakan kain najran yang tebal pinggirannya. Kebetulan beliau berpapasan dengan seorang Arab badui, tiba-tiba si Arab badui tadi menarik dengan keras kain beliau itu, sehingga aku dapat melihat bekas tarikan itu pada leher beliau. ternyata tarikan tadi begitu keras sehingga ujung kain yang tebal itu membekas di leher beliau. Si Arab badui itu berkata: “Wahai Muhammad, berikanlah kepadaku sebagian yang kamu miliki dari harta Allah!” Beliau lantas menoleh kepadanya sambil tersenyum lalu mengabulkan permintaannya.” (Muttafaq ‘alaih)

Rendah hati

Seorang pemimpin haruslah memiliki sifat rendah hati dan menghilangkan sifat riya’ atau sombong dari dalam jiwanya. Kepemimpinan tidak akan dapat berjalan dengan baik dan tidak juga akan mendapat ridha Allah swt manakala dijalankan dengan tujuan riya’ atau sombong. Kesombongan atau sifat riya’ seorang pemimpin akan menghancurkan kepemimpinan yang tengah dibangunnya dari dalam. Boleh jadi, justru para pengikutnyalah yang akan menghancurkan kepemimpinannya karena kesombongan yang ia tampakkan.

Dari Ibnu Mas’ud ra. dari Nabi saw, sabdanya: “Tidak dapat masuk syurga seseorang yang dalam hatinya ada seberat timbangan seekor semut kecil dari kesombongan.” Kemudian ada seorang lelaki berkata: “Sesungguhnya ada seorang lelaki yang gemar sekali kalau pakaiannya bagus dan terumpahnya bagus.” Beliau saw lalu bersabda: “Sesungguhnya Allah itu Maha Indah, juga mencintai keindahan. Sombong itu ialah menolak petunjuk yang hak – yakni kebenaran – serta menghinakan para manusia. (Riwayat Muslim)

Musyawarah

Seorang pemimpin yang baik adalah mereka yang mengutamakan jalan musyawarah untuk mencari jalan keluar atas berbagai permasalahan kepemimpinan yang tengah dihadapinya, terlebih lagi jika permasalahannya menyangkut unsur-unsur yang vital. Banyak kepala tentunya akan dapat memberikan masukan atau jalan keluar yang lebih banyak ketimbang satu kepala. Musyawarah merupakan salah satu jalan yang dianjurkan dan telah mengakar dalam ajaran Islam. Untuk itu, sudah sepatutnya seorang pemimpin yang baik tidak melupakan musyawarah dalam kepemimpinanya.

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS. Ali Imran: 159)

“Dan (bagi) orang – orang yang menerima (mematuhi) seruan Rabb-nya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang kami berikan kepada mereka” (QS; Asy-Syura :38)

Mampu berkomunikasi dengan rakyatnya

Komunikasi merupakan satu faktor vital dalam segala aspek kehidupan. Dan komunikasi juga merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam sebuah kepemimpinan. Terjalinnya komunikasi yang baik antara pemimpin dengan orang-orang yang dipimpinnya merupakan salah satu ciri keberhasilan sebuah kepmimpinan.

Seorang pemimpin dituntut untuk mampu membangun jalur komunikasi yang baik antara dirinya dengan para pengikutnya. Sehingga banyak masukan yang membangun yang dapat ia terima dan ia pergunakan untuk menjalankan dan memajukan kepemimpinannya, membawa kepemimpianan dan pengikutnya menuju cita-cita dan ridha Allah swt.

“Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka.” (QS. Ibrahim:4)

Aqidah Islamiyah

Secara bahasa, aqidah berasal dari kata ‘aqoda ya’qidu/’uqdatan/wa’aqidatan, yang berarti ikatan (al-rabthu), janji (al-‘ahdu), keyakinan yang mantap (al-jazmu)

Sedangkan menurut istilah, aqidah adalah perkara-perkara yang dibenarkan oleh jiwa dan hati merasa tenang karenanya serta menjadi suatu keyakinan bagi pemiliknya yang tidak dicampuri keraguan sedikitpun.

Aqidah Islamiyah bersumber pada Al Quran dan As Sunnah/Al Hadits. Oleh sebab itu, segala bentuk amal ibadah wajib berdasarkan kepada Al Quran dan Hadits. Barang siapa melakukan amal ibadah yang tidak sesuai atau tidak terdapat di dalam Al Quran ataupun Al Hadits, maka amal ibadahnya akan tertolak, dan boleh jadi hanya akan menimbulkan murka Allah swt.

“Barang siapa mengerjakan suatu amalan tanpa dasar perintah Kami, maka ia tertolak” (HR. Muslim)



Dasar-Dasar Aqidah Islamiyah

“Islam itu didirikan di atas lima dasar; bersaksi bahwa tidak ada Ilah (yang berhak disembah) kecuali Allah, dan Muhammad itu utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, hajji ke Baitullah, dan berpuasa Ramadhan”. (HR. Bukhari – Muslim)

Setiap bangunan pastilah memilik dasar atau pondasi awal. Semakin tinggi, semakin megah, semakin besar suatu bangunan, maka tentunya ia membutuhkan pondasi yang semakin kuat. Itulah pentingnya mengokohkan Rukun Iman di dalam hati setiap umat muslim yang beriman, karena rukun iman adalah basic atau pondasi yang akan menentukan kekokohan bangunannya, yaitu bangunan Islam. Bangunan islam yang sudah tertanam dalam diri seseorang tentunya akan mudah diluluhlantahkan oleh berbagai ujian yang senantiasa menghadang dan mendatangi seseorang yang mengaku beriman kepada Allah swt dan Rasul-Nya.

1. Iman kepada allah swt

Firman Allah swt:

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al Baqarah : 177)

“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.” (QS. An Nisaa : 136)

2. Iman kepada malaikat

Firman Allah swt:

“Katakanlah: “Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, maka Jibril itu telah menurunkannya (Al Quran) ke dalam hatimu dengan seizin Allah; membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman. Barang siapa yang menjadi musuh Allah, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, Jibril dan Mikail, maka sesungguhnya Allah adalah musuh orang-orang kafir” (QS. Al Baqarah : 97-98)

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al Baqarah : 177)

“Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): “Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya”, dan mereka mengatakan: “Kami dengar dan kami taat.” (Mereka berdoa): “Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.”” (QS. Al Baqarah : 285)

“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.” (QS. An Nisaa : 136)

3. Iman kepada kitab-kitab Allah swt

Firman Allah swt:

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al Baqarah : 177)

“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.” (QS. An Nisaa : 136)

4. Iman kepada Rasul

Firman Allah swt:

“Barang siapa yang menjadi musuh Allah, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, Jibril dan Mikail, maka sesungguhnya Allah adalah musuh orang-orang kafir” (QS. Al Baqarah : 98)

“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.” (QS. An Nisaa : 136)

5. Iman kepada hari akhir

Firman Allah swt:

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al Baqarah : 177)

“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.” (QS. An Nisaa : 136)

6. Iman kepada Qadha dan Qadar

“yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagiNya dalam kekuasaan(Nya), dan dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya” (QS. Al Furqaan : 2)



Peranan Aqidah Islamiyah

1. Merdeka atau lepas dari segala bentuk penghambaan diri kepada segala bentuk thagut (sesembahan selain Allah swt).

Seseorang yang memiliki aqidah yang mantap tidak akan menyisakan sedikitpun ruang di dalam hatinya untuk yang lain, kecuali hanya Allah swt semata. Dasar pemikiran dan pijakan kakinya senantiasa disesuaikan dengan apa yang menjadi ajaran Al Quran dan hadits. Langkah, arah dan tujuan setiap nafas hidupnya hanyalah kepada Allah swt, untuk mendapatkan keridhoan-Nya semata berdasarkan contoh yang disampaikan oleh Rasulullah saw. Hanya karena Allah swt-lah awal dan akhirnya.

Firman Allah swt:

“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya: “Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatupun dari kamu (siksaan) Allah.” (Ibrahim berkata): “Ya Tuhan kami hanya kepada Engkaulah kami bertawakkal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali.” (QS. Al Mumtahanah : 4)

“Katakanlah: “Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.” (QS. Al Kafiruun : 1-5)

2. Memperoleh kemuliaan atau harga diri (‘izzah)

Karena sesungguhkan kemulian yang hakiki itu hanyalah kemuliaan di hadapan Allah swt semata. Tidak tidak ada satu makhluk pun yang berhak dan mampu memberikan kemuliaan kecuali Allah Yang Maha Meninggikan. Demikian pula sebaliknya, tidak ada satu makhluk pun yang berhak dan mampu untuk memberikan kehinaan, melainkan hanya atas kehendak Allah swt semata. Allah-lah yang akan meangkat dan menjatuhkan derajat seseorang baik di dunia maupun di akhirat kelak.

”Katakanlah: “Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. Engkau masukkan malam ke dalam siang dan Engkau masukkan siang ke dalam malam. Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati, dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup. dan Engkau beri rezki siapa yang Engkau kehendaki tanpa hisab (batas)”. QS. Al Imraan: 26-27

“Mereka berkata: “Sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madinah, benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah dari padanya.” Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui.” (QS. Al Munaafiquun :

3. Memberikan ketenangan (at-thuma’ninah)

Ketenteraman atau ketenangan merupakan satu perasaan hati, perasaan jiwa yang senantiasa setiap orang pasti menginginkannya. Untuk itu, kebanyakan manusia pun berlomba-lomba mengumpulkan uang dan menumpuk harta, bersaing memperoleh jabatan dan berharap dengan semua itu ia akan memperoleh kenangan atau ketenteraman hidup.

Ketahuilah, bahwa sesungguhnya ketenangan atau ketenteraman itu hanyalah milih Allah dan hanya dari Allah-lah ketenangan itu dapat kita mohon. Semakin seseoran kaya akan harta dunia, maka semakin beratlah beban hidup di dunia dan di akhiratnya. Di dunia perasaannya senantiasa dikejar-kejar rasa takut akan kehilangan harta bendanya, dan di akhirat perhitungan (hisab) Allah pun tidak akan pernah dapat diperdaya. Semakin banyak harta benda kita, maka semakin beratlah hisab yang akan kita jalani.

Semakin tinggi jabatan yang kita miliki, maka semakin beratlah tanggung jawab dan pertanggung jawaban yang kita pikul di dunia dan di akhirat kelak. Rasa was-was akan lengsernya jabatan atau bahkan ketidak puasan untuk terus mendapatkan jabatan yang lebih tinggi pun senantiasa mengikuti.

Ingatlah, bahwa sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Membolak-balikkan hati.

Firman Allah swt:

“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar Ra’du : 28)

4. Memberikan rasa aman (al-ammu)

Seberapapun jumlah staf keamanan dan alat keamanan dengan teknologi tercanggih kita miliki, rasa aman itu tidaklah akan menjadi miliki kita seandainya Allah swt memang tidak memberikan rasa aman itu kepada kita. Justru dengan banyaknya staf keamanan dan alat keamanan dengan teknologi yang luar biasa canggih itulah yang membuktikan bahwa rasa aman semakin tidak kita miliki.

Seseorang yang memiliki aqidah yang kokoh akan senantiasa merasa aman bagaimanapun keadaannya di dunia. Karena ia yakin, bahwa tidak akan ada kemudharatan yang akan menimpanya kecuali atas kehendak Allah swt. Sebaliknya, tidak akan ada pula kemasalahatanatau keberkahan yang akan sampai kepadanya kecuali dengan kehendak Allah swt pula. Dan keberkahan itu hanyalah milik orang-orang beriman yang senantiasa ridha kepada Allah swt.

Firman Allah swt:

“Tetapi (sebenarnya) telah nyata bagi mereka kejahatan yang mereka dahulu selalu menyembunyikannya. Sekiranya mereka dikembalikan ke dunia, tentulah mereka kembali kepada apa yang mereka telah dilarang mengerjakannya. Dan sesungguhnya mereka itu adalah pendusta belaka.” (QS. Al An’aam : 28)

5. Menimbulkan sifat optimis (at-tafaul)

Sifat optimis adalah salah satu tanda bahwa dalam diri seorang muslim itu telah tertanam keimanan yang mantab kepada Allah swt. Ia yakin akan Qadha dan Qadar yang Allah tetapkan atas setiap makhluk-Nya. Dan ia yakin bahwa tidak ada yang akan merubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendirilah yang merubahnya. Dan Allah tidak akan membebani umatnya melebihi batas kemampuannya. Dengan kata lain, seorang muslim yang memiliki aqidah yang kokoh senantiasa yakin bahwa Allah swt senantiasa memberikan yang terbaik kepada hamba-Nya yang beriman kepada-Nya.

Firman Allah swt:

“Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.” (QS. Yusuf : 87)

6. Memperoleh barakah (al-barakah)

Seandainya seluruh makhluk di langit dan di bumi bersatu untuk menimpakan keburukan (mudharat) maka niscaya tidak akan ada yang mampu memberikan keburukan (mudaharat) itu melainkan atas kehendak Allah swt. Dan seandainya seluruh makhluk di langit dan di bumi bersatu untuk menimpakan kebaikan (barakah) maka niscaya tidak akan ada yang mampu memberikan kebaikan (barakah) itu melainkan atas izin Allah swt. Itulah yang menjadi prinsip seseorang yang telah memiliki aqidah Islamiyah yang mantab.

Firman Allah swt:

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al A’raaf : 96)

7. Menimbulkan sikap berani (asy-syaja’ah)

Bagi pemilik aqidah Islamiyah yang kokoh, maka tidak ada yang patut untuk ditakuti kecuali Allah swt semata. Tidak ada yang lebih patut untuk di ambil dan diterapkan kecuali perintah Allah swt. Dan tidak ada yang patut untuk dijauhi kecuali larangan Allah swt. Dan tidak ada pula yang patut ditakuti kecuali membangkang dari perintah dan atau larangan Allah swt.

Firman Allah swt:

“Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya: “Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita.” Maka Allah menurunkan keterangan-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Al-Quran menjadikan orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. At Taubah : 40)

“Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta.” (QS. Fushshilat : 3)

8. Mendapatkan kepemimpinan (al-istikhlaaf)

Jiwa kepemimpinan senantiasa bersemayam dalam jiwa seorang muslim. Dengan kekokohan aqidah itulah jiwa kepemimpinan itu semakin mantab karena diarahkan berdasarkan petunjuk Allah swt dan ditujukan hanya untuk mendapatkan keridhoan dari Allah swt. Kekokohan aqidah yang melahirkan keyakianan bahwa segala amal perbuatan setiap manusia akan dimintai pertanggung jawabannya itulah yang kemudian menghujamkan sifat kepemimpinan sejati di dalam kehidupan umat muslim sejati.

Firman Allah swt:

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An Nuur : 55)

9. Senantiasa bertawakal kepada Allah swt

Tawakal atau berserah diri kepada Allah sudah pasti menjadi naungan setiap muslim. Yakin kepada Allah swt yang akan memberikan yang terbaik dalam setiap langkah hidupanya. Nikmat yang Allah swt berikan senantiasa disyukuri. Dan sebaliknya, musibah yang menimpa menjadi penghisab dosa-dosa. Senantiasa berbaik sangka kepada Allah swt. Senantiasa hanya berharap kepada Allah swt, bukan kepada yang lain.

Firman Allah swt:

“(Yaitu) orang-orang (yang mentaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: “Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka”, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.” (QS Ali Imraan : 173)



*************************************************************************



“dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu Dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. dan didapatinya (ketetapan) Allah disisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya” QS. An Nuur: 39

”orang-orang yang kafir kepada Tuhannya, amalan-amalan mereka adalah seperti Abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikitpun dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia). yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh.” QS. Ibrahim: 18



RUJUKAN

Al Quran

Al Hadits

Kelompok Studi Islam Al Ummah. 1999. AQIDAH SEORANG MUSLIM. Jakarta: Yayasan AN Nizhom

Sabar di Jalan

Memang, mengucap atau menyarankan seseorang untuk berbuat atau bersikap sabar sangat mudah dilakukan. Namun, terbukti bahwa sabar merupakan salah satu sifat yang ternyata sangat sulit untuk ditanamkan dan di dawamkan dalam kehidupan sehari-hari umat muslim. Padahal, sabar merupakan salah satu sifat yang banyak disebut-sebut dalam ajaran Islam untuk ditanamkan dan diaplikkasikan dalam kehidupan sehari-hari. Al Quran dan Al hadits banyak sekali menyebut sabar sebagai salah satu perintah yang meskipun berat tapi harus tetap dipupuk pertahankan.

Jalanan merupakan salah satu tempat yang seringkali menjadi saksi bisu betapa sedikit sekali orang yang mampu bersabar dalam menjalani kehidupan dan menyikapi persoalan hidup mereka.Tidak sedikit seorang muslim yang dengan sangat mudah kehilangan rasa sabar manakala berada di jalan. Bahkan, banyak sekali orang yang memang tidak memiliki atau belum memiliki sifat sabar di dalam hati mereka. Emosi dan ego mereka masih jauh lebih kuat dari sifat sabar yang mereka miliki. Di sisi lain, banyak sekali orang-orang di jalan yang secara tidak langsung suka menguji atau lebih tepatnya me-ngejek kesabaran orang. Sehingga tidak jarang adu mulut bahkan adu jotos di jalan sering kali ditemui hanya karena alasan yang bisa dibilang sepele.

Satu ketika, jalan raya terlihat begitu ramai. Ada seorang lelaki bertubuh tinggi besar yang berada di tengah jalan (perbatasan lajur kiri dan kanan). Lelaki itu hendak menyeberang jalan tapi gerak-geriknya tampak begitu ragu untuk menyeberang. Beberapa saat kemudian, kondisi jalan sudah tidak terlalu ramai hanya satu sepeda motor yang tampak melaju kencang dari jarak yang tidak terlalu jauh dari lelaki itu. Melihat ada seseorang yang hendak menyeberang jalan, motor itu pun memperlambat lajunya dengan tujuan agar penyeberang jalan itu segera menyeberang. Namun ternyata si penyeberang jalan justru tampak bingung dan tidak bergerak. Melihat itu, si pengendara motor pun kembali menarik gasnya untuk kembali melaju. Tapi bertepatan dengan itu, si penyeberang jalan pun bergerak mengayunkan kakinya untuk menyeberang. Spontan si pengendara motor pun menginjak rem motornya mendadak. Karena terkejut, si penyeberang jalan pun ikut berhenti dan mundur lagi. Dan ketika si pengendara motor hendak melaju lagi, si penyeberang jalan pun kembali mengayunkan langkahnya. Rupanya hal itu membuat si pengendara motor naik darah dan kehilangan sifat sabarnya. Spontan si pengendara motor pun mengeluarkan umpatan yang kasar kepada si penyeberang jalan seraya memacu motornya secepat kilat, “Goblok Lu!”. Mendengar umpatan itu, si penyeberang jalan tidak mau terima, ia pun membalas dengan mengumpulkan nama-nama binatang di dalam mulutnya.

Di sisi lain, ada pula yang akhirnya adu mulut hanya karena bersenggolan di jalanan. Ada yang hanya karena hampir bersenggolan dan sama-sama mengerem mendadak di tikungan jalan harus berakhir dengan keributan. Banyak sekali masalah sepele yang akhirnya menyebabkan masyarakat kita menjadi kehilangan rasa sabar. Banyak sekali tawuran antar warga yang terjadi di sana-sini yang sebenarnya tidak perlu jika pihak-pihak yang terkait mau mempertahankan sifat sabar di dalam dada mereka serta mengambil pendekatan-pendekatan yang lebih baik untuk menyelesaikan konflik di antara mereka.

Mempertahankan sifat sabar agar tetap melekat dalam setiap keadaan memang tidak mudah. Adapun mereka yang mampu mempertahankan sifat sabar pun terkadang justru dianggap sebagai seorang pengecut. Padahal, menjadi seorang yang selalu menjaga sifat sabar adalah berlipat-lipat kali lebih berat daripada menjadi seorang yang selalu mudah mengumbar emosi di sana-sini, tapi entah kenapa masih ada saja orang yang berpikir bahwa seorang penyabar itu adalah pengecut. Mungkin itulah salah satu keanehan pola pikir manusia, yang sabar dibilang pengecut dan yang anarkis dibilang “Busyeeet!”. Namun demikian, cobaan-cobaan itulah yang akhirnya menjadi pendongkrak derajat seseorang yang mampu mendawamkan sifat sabar mereka. Cobaan-cobaan itulah yang akhirnya mampu menghantarkan seseorang untuk semakin dekat kepada Sang Khaliq, Allah Azza wa Jalla. Sebagaimana firman Allah swt di dalam Al Quran yang artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar” QS. Al Baqarah: 153

Saudaraku, tahukah engkau bahwa melepaskan sifat sabar dan mengumbar emosi merupakan salah satu perbuatan yang sia-sia. Itu hanyalah perbuatan yang hanya akan menghamburkan dan menghabiskan energi semata. Lebih dari itu, melepaskan pakaian kesabaran dan menggantikannya dengan pakaian emosi tentu saja sangat berpotensi menuai buah dosa, minimal berkuranglah pahala yang kita miliki. Membuang sifat sabar dan mengumbar emosi tidak akan memberikan satu solusi, sebaliknya justru hanya akan menimbulkan permasalahan baru yang mau tidak mau harus kita hadapi. Tidak ada yang akan diuntungkan apabila kita menghilangkan sifat sabar dan mudah terpancing emosi manakala berada di jalanan. Sebaliknya, kerugian sudah pasti akan kita tuai sebagai konsekuensi melepas pakaian kesabaran.

Kita tidak pernah tahu, separah apa rasa sakit hati seseorang yang menerima perlakuan kita di jalan karena kita tidak mampu mempertahankan sifat sabar. Dan kita tidak pernah tahu seberapa dalam lukan yang menganga di hati saudara kita ketika kita kehilangan sifat sabar. Kita pun tidak pernah menyangka betapa saudara kita merasa sangat menderita saat kita mengucapkan kata-kata kotor karena hilangnya sifata sabar dari hati kita. Dan tentunya, kita juga tidak pernah tahu sumpah serapah seperti apa yang banyak dilontarkan orang-orang di jalanan manakala mereka meresa terganggu, terusik atau tersinggung oleh perilaku kita manakala tengah kehilangan sifat sabar. Semua itu tentunya menjadi salah satu tabungan dosa bagi kita, atau minimal menjadi pemeras pahala yang telah lama kita kumpulkan dengan susah payah. Sangatlah disayangkan jika memang demikian adanya.

Jalanan, ibarat lautan yang penuh dengan sumber pangan dan penghasilan. Di sisi lain, kita semua tentunya setuju bahwa lautan juga menyimpan banyak sisi-sisi berbahaya bagi siapa-saja. Seperti itulah jalanan bagi sifat sabar. Jalanan merupakan ladangnya ujian kesabaran, bagi siapa saja yang memutuskan untuk turun ke jalan maka harus siap di uji.

Semoga kita semua, khususnya penulis diberikan kekuatan untuk senantiasa mampu mempertahankan sifat sabar dalam segala aspek kehidupan. Amien.

PERMASALAHAN PENDIDIKAN MASA KINI

Betapapun terdapat banyak kritik yang dilancarkan oleh berbagai kalangan terhadap pendidikan, atau tepatnya terhadap praktek pendidikan, namun hampir semua pihak sepakat bahwa nasib suatu komunitas atau suatu bangsa di masa depan sangat bergantung pada kontibusinya pendidikan. Shane (1984: 39), misalnya sangat yakin bahwa pendidikanlah yang dapat memberikan kontribusi pada kebudayaan di hari esok. Pendapat yang sama juga bisa kita baca dalam penjelasan Umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional (UU No. 20/2003), yang antara lain menyatakan: “Manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya. Pendidikan merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran dan/atau cara lain yang dikenal dan diakui oleh masyarakat”.

Dengan demikian, sebagai institusi, pendidikan pada prinsipnya memikul amanah “etika masa depan”. Etika masa depan timbul dan dibentuk oleh kesadaran bahwa setiap anak manusia akan menjalani sisa hidupnya di masa depan bersama-sama dengan makhluk hidup lainnya yang ada di bumi. Hal ini berarti bahwa, di satu pihak, etika masa depan menuntut manusia untuk tidak mengelakkan tanggung jawab atas konsekuensi dari setiap perbautan yang dilakukannya sekarang ini. Sementara itu pihak lain, manusia ditutut untuk mampu mengantisipasi, merunuskan nilai-nilai, dan menetapkan prioritas-prioritas dalam suasana yang tidak pasti agar generasi-generasi mendatang tidak menjadi mangsa dari proses yang semakin tidak terkendali di zaman mereka dikemudian hari (Joesoef, 2001: 198-199).

Dalam konteks etika masa depan tersebut, karenanya visi pendidikan seharusnya lahir dari kesadaran bahwa kita sebaiknya jangan menanti apapun dari masa depan, karena sesungguhnya masa depan itulah mengaharap-harapkan dari kita, kita sendirilah yang seharusnya menyiapkannya (Joesoef, 2001: 198). Visi ini tentu saja mensyaratkan bahwa, sebagai institusi, pendidikan harus solid. Idealnya, pendidikan yang solid adalah pendidikan yang steril dari berbagai permasalahan. Namun hal ini adalah suatu kemustahilan. Suka atau tidak suka, permasalahan akan selalu ada dimanapun dan kapanpun, termasuk dalam institusi pendidikan.
Oleh karena itu, persoalannya bukanlah usaha menghindari permasalahah, tetapi justru perlunya menghadapi permasalahan itu secara cerdas dengan mengidentifikasi dan memahami substansinya untuk kemudian dicari solusinya.

Makalah ini berusaha mengidentifikasi dan memahami permasalahan-permasalahan pendidikan kontemporer di Indonesia. Permasalahan-permasalahan pendidikan dimaksud dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu permasalahan eksternal dan permasalahan internal. Perlu pula dikemukakan bahwa permasalah pendidikan yang diuraikan dalam makalah ini terbatas pada permasalahan pendidikan formal. Namun sebelum menguraikan permasalahan eksternal dan internal tersebut, terlebih dahulu disajikan uraian singkat tentang fungsi pendidikan. Uraian yang disebut terakhir ini dianggap penting, karena permasalahan pendidikan pada hakekatnya terkait erat dengan realisasi fungsi pendidikan.

Fungsi Pendidikan Pasal 3 UU No. 20/2003 menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam rumusan pasal 3 UU No. 20/2003 ini terkandung empat fungsi yang harus diaktualisasikan olen pendidikan, yaitu: (1) fungsi mengembangkan kemampuan peserta didik, (2) fungsi membentuk watak bangsa yang bermartabat, (3) fungsi mengembangkan peradaban bangsa yang bermartabat, dan (4) fungsi mencerdaskan kehidupan bangsa.
Noeng Muhadjir (1987: 20-25) menyebutkan bahwa, sebagai institusi pendidikan mengemban tiga fungsi. Pertama, pendidikan berfungsi menumbuhkan kreativitas peserta didik. Kedua, pendidikan berfungsi mewariskan nilai-nilai kepada peserta didik; dan Ketiga, pendidikan berfungsi meningkatkan kemampuan kerja produktif peserta didik. Kalau dibandingkan dengan fungsi pendidikan yang termaktup dalam rumusan pasal 3 UU No. 20/2003 di atas, fungsi pertama yang dikemukakan Noeng Muhadjir secara substantive sama dengan fungsi keempat menurut UU No. 20/2003.
Sedangkan fungsi pendidikan ketiga yang dikemukakan Noeng Muhadjir pada dasarnya sama dengan fungsi pertama menurut UU No. 20/2003. Sementara itu, Vebrianto, seperti dikutip M. Rusli Karim (1991: 28) menyebutkan empat fungsi pendidikan. Keempat fungsi dimaksud adalah: (1) transmisi kultural, pengetahuan, sikap, nilai dan norma ; (2) memilih dan menyiapkan peran sosial bagi peserta didik; (3) menjamin intergrasi nasional; dan (4) mengadakan inovasi-inovasi sosial.
Terlepas dari adanya perbedaan rincian dalam perumusan fungsi pendidikan seperti tersebut di atas, namun satu hal yang pasti ialah bahwa fungsi utama pendidikan adalah membantu manusia untuk meningkatkan taraf hidup dan martabat kemanusiaannya.


Permasalahan Eksternal Pendidikan Masa Kini

Permasalahan eksternal pendidikan di Indonesia dewasa ini sesungguhnya sangat komplek. Hal ini dikarenakan oleh kenyataan kompleksnya dimensi-dimensei eksternal pendidikan itu sendiri. Dimensi-dimensi eksternal pendidikan meliputi dimensi sosial, politik, ekonomi, budaya, dan bahkan juga dimensi global. Dari berbagai permasalahan pada dimensi eksternal pendidikan di Indonesia dewasa ini, makalah ini hanya akan menyoroti dua permasalahan, yaitu permasalahan globalisasi dan permasalahan perubahan sosial.

Permasalahan globalisasi menjadi penting untuk disoroti, karena ia merupakan trend abad ke-21 yang sangat kuat pengaruhnya pada segenap sector kehidupan, termasuk pada sektor pendidikan. Sedangakan permasalah perubahan social adalah masalah “klasik” bagi pendidikan, dalam arti ia selalu hadir sebagai permasalahan eksternal pendidikan, dan karenya perlu dicermati. Kedua permasalahan tersebut merupakan tantangan yang harus dijawab oleh dunia pendidikan, jika pendidikan ingin berhasil mengemban misi (amanah) dan fungsinya berdasarkan paradigma etika masa depan.

a. Permasalahan globalisasi

Globalisasi mengandung arti terintegrasinya kehidupan nasional ke dalam kehidupan global. Dalam bidang ekonomi, misalnya, globalisasi ekonomi berarti terintegrasinya ekonomi nasional ke dalam ekonomi dunia atau global (Fakih, 2003: 182). Bila dikaitkan dalam bidang pendidikan, globalisasi pendidikan berarti terintegrasinya pendidikan nasional ke dalam pendidikan dunia. Sebegitu jauh, globalisasi memang belum merupakan kecenderungan umum dalam bidang pendidikan. Namun gejala kearah itu sudah mulai Nampak.

Sejumlah SMK dan SMA di beberapa kota di Indonesia sudah menerapkan sistem Manajemen Mutu (Quality Management Sistem) yang berlaku secara internasional dalam pengelolaan manajemen sekolah mereka, yaitu SMM ISO 9001:2000; dan banyak diantaranya yang sudah menerima sertifikat ISO.
Oleh karena itu, dewasa ini globalisasi sudah mulai menjadi permasalahan actual pendidikan. Permasalahan globalisasi dalam bidang pendidikan terutama menyangkut output pendidikan. Seperti diketahui, di era globalisasi dewasa ini telah terjadi pergeseran paradigma tentang keunggulan suatu Negara, dari keunggulan komparatif (Comperative adventage) kepada keunggulan kompetitif (competitive advantage). Keunggulam komparatif bertumpu pada kekayaan sumber daya alam, sementara keunggulan kompetitif bertumpu pada pemilikan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas (Kuntowijoyo, 2001: 122).

Dalam konteks pergeseran paradigma keunggulan tersebut, pendidikan nasional akan menghadapi situasi kompetitif yang sangat tinggi, karena harus berhadapan dengan kekuatan pendidikan global. Hal ini berkaitan erat dengan kenyataan bahwa globalisasi justru melahirkan semangat cosmopolitantisme dimana anak-anak bangsa boleh jadi akan memilih sekolah-sekolah di luar negeri sebagai tempat pendidikan mereka, terutama jika kondisi sekolah-sekolah di dalam negeri secara kompetitif under-quality (berkualitas rendah). Kecenderungan ini sudah mulai terlihat pada tingkat perguruan tinggi dan bukan mustahil akan merambah pada tingkat sekolah menengah.

Bila persoalannya hanya sebatas tantangan kompetitif, maka masalahnya tidak menjadi sangat krusial (gawat). Tetapi salah satu ciri globalisasi ialah adanya “regulasi-regulasi”. Dalam bidang pendidikan hal itu tampak pada batasan-batasan atau ketentuan-ketentuan tentang sekolah berstandar internasional. Pada jajaran SMK regulasi sekolah berstandar internasional tersebut sudah lama disosialisasikan. Bila regulasi berstandar internasional ini kemudian ditetapkan sebagai prasyarat bagi output pendidikan untuk memperolah untuk memperoleh akses ke bursa tenaga kerja global, maka hal ini pasti akan menjadi permasalah serius bagi pendidikan nasional.

Globalisasi memang membuka peluang bagi pendidikan nasional, tetapi pada waktu yang sama ia juga mengahadirkan tantangan dan permasalahan pada pendidikan nasional. Karena pendidikan pada prinsipnya mengemban etika masa depan, maka dunia pendidikan harus mau menerima dan menghadapi dinamika globalisasi sebagai bagian dari permasalahan pendidikan masa kini.

b. Permasalahan perubahan sosial

Ada sebuah adegium yang menyatakan bahwa di dunia ini tidak ada yang abadi, semuanya berubah; satu-satunya yang abadi adalah perubahan itu sendiri. Itu artinya, perubahan social merupakan peristiwa yang tidak bisa dielakkan, meskipun ada perubahan social yang berjalan lambat dan ada pula yang berjalan cepat.

Bahkan salah satu fungsi pendidikan, sebagaimana dikemukakan di atas, adalah melakukan inovasi-inovasi social, yang maksudnya tidak lain adalah mendorong perubahan social. Fungsi pendidikan sebagai agen perubahan sosial tersebut, dewasa ini ternyata justru melahirkan paradoks.
Kenyataan menunjukkan bahwa, sebagai konsekuansi dari perkembangan ilmu perkembangan dan teknologi yang demikian pesat dewasa ini, perubahan social berjalan jauh lebih cepat dibandingkan upaya pembaruan dan laju perubahan pendidikan. Sebagai akibatnya, fungsi pendidikan sebagai konservasi budaya menjadi lebih menonjol, tetapi tidak mampu mengantisipasi perubahan sosial secara akurat (Karim, 1991: 28). Dalam kaitan dengan paradoks dalam hubungan timbal balik antar pendidikan dan perubahan sosial seperti dikemukakan di atas, patut kiranya dicatat peringatan Sudjatmoko (1991:30) yang menyatakan bahwa Negara-negara yang tidak mampu mengikuti revolusi industri mutakhir akan ketinggalan dan berangsur-angsur kehilangan kemampuan untuk mempertahankan kedudukannya sebagai Negara merdeka. Dengan kata lain, ketidakmampuan mengelola dan mengikuti dinamika perubahan sosial sama artinya dengan menyiapkan keterbelakangan. Permasalahan perubahan sosial, dengan demikian harus menjadi agenda penting dalam pemikiran dan praksis pendidikan nasional.

Permasalahan Internal Pendidikan Masa Kini

Seperti halnya permasalahan eksternal, permasalahan internal pendidikan di Indonesia masa kini adalah sangat kompleks. Daoed Joefoef (2001: 210-225) misalnya, mencatat permasalahan internal pendidikan meliputi permasalahan-permasalahan yang berhubungan dengan strategi pembelajaran, peran guru, dan kurikulum. Selain ketiga permasalahan tersebut sebenarnya masih ada jumlah permasalahan lain, seperti permasalahan yang berhubungan dengan sistem kelembagaan, sarana dan prasarana, manajemen, anggaran operasional, dan peserta didik. Dari berbagai permasalahan internal pendidikan dimaksud, makalah ini hanya akan membahas tiga permasalahan internal yang di pandang cukup menonjol, yaitu permasalahan sistem kelembagaan, profesionalisme guru, dan strategi pembelajaran.

a. Permasalahan Sistem Kelembagaan

Permasalahan sistem kelembagaan pendidikan yang dimaksud dengan uraian ini ialah mengenai adanya dualisme atau bahkan dikotomi antar pendidikan umum dan pendidikan agama. Dualisme atau dikotomi antara pendidikan umum dan pendidikan agama ini agaknya merupakan warisan dari pemikiran Islam klasik yang memilah antara ilmu umum dan ilmu agama atau ilmu ghairuh syariah dan ilmu syariah, seperti yang terlihat dalam konsepsi al-Ghazali (Otman, 1981: 182).

Dualisme dikotomi sistem kelembagaan pendidikan yang berlaku di negeri ini kita anggap sebagai permasalahan serius, bukan saja karena hal itu belum bisa ditemukan solusinya hingga sekarang, melainkan juga karena ia, menurut Ahmad Syafii Maarif (1987:3) hanya mampu melahirkan sosok manusia yang “pincang”. Jenis pendidikan yang pertama melahirkan sosok manusia yang berpandangan sekuler, yang melihat agama hanya sebagai urusan pribadi.

Sedangkan sistem pendidikan yang kedua melahirkan sosok manusia yang taat, tetapi miskim wawasan. Dengan kata lain, adanya dualisme dikotomi sistem kelembagaan pendidikan tersebut merupakan kendala untuk dapat melahirkan sosok manusia Indonesia “seutuhnya”. Oleh karena itu, Ahmad Syafii Maarif (1996: 10-12) menyarankan perlunya modal pendidikan yang integrative, suatu gagasan yang berada di luar ruang lingkup pembahasan makalah ini.

b. Permasalahan Profesionalisme Guru

Salah satu komponen penting dalam kegiatan pendidikan dan proses pembelajaran adalah pendidik atau guru. Betapapun kemajuan taknologi telah menyediakan berbagai ragam alat bantu untuk meningkatkan efektifitas proses pembelajaran, namun posisi guru tidak sepenuhnya dapat tergantikan. Itu artinya guru merupakan variable penting bagi keberhasilan pendidikan.

Menurut Suyanto (2007: 1), “guru memiliki peluang yang amat besar untuk mengubah kondisi seorang anak dari gelap gulita aksara menjadi seorang yang pintar dan lancar baca tulis alfabetikal maupun funfsional yang kemudian akhirnya ia bisa menjadi tokoh kebanggaan komunitas dan bangsanya”. Tetapi segera ditambahkan: “guru yang demikian tentu bukan guru sembarang guru. Ia pasti memiliki profesionalisme yang tinggi, sehingga bisa “digugu lan ditiru”.

Lebih jauh Suyanto (2007: 3-4) menjelaskan bahwa guru yang profesional harus memiliki kualifikasi dan ciri-ciri tertentu. Kualifikasi dan ciri-ciri dimaksud adalah: (a) harus memiliki landasan pengetahuan yang kuat, (b) harus berdasarkan atas kompetensi individual, (c) memiliki sistem seleksi dan sertifikasi, (d) ada kerja sama dan kompetisi yang sehat antar sejawat, (e) adanya kesadaran profesional yang tinggi, (f) meliki prinsip-prinsip etik (kide etik), (g) memiliki sistem seleksi profesi, (h) adanya militansi individual, dan (i) memiliki organisasi profesi.
Dari ciri-ciri atau karakteristik profesionalisme yang dikemukakan di atas jelaslah bahwa guru tidak bisa datang dari mana saja tanpa melalui sistem pendidikan profesi dan seleksi yang baik. Itu artinya pekerjaan guru tidak bisa dijadikan sekedar sebagai usaha sambilan, atau pekerjaan sebagai moon-lighter (usaha objekan) Suyanto (2007: 4). Namun kenyataan dilapangan menunjukkan adanya guru terlebih terlebih guru honorer, yang tidak berasal dari pendidikan guru, dan mereka memasuki pekerjaan sebagai guru tanpa melalui system seleksi profesi. Singkatnya di dunia pendidikan nasional ada banyak, untuk tidak mengatakan sangat banyak, guru yang tidak profesioanal. Inilah salah satu permasalahan internal yang harus menjadi “pekerjaan rumah” bagi pendidikan nasional masa kini.

c. Permasalahan Strategi Pembelajaran

Menurut Suyanto (2007: 15-16) era globalisasi dewasa ini mempunyai pengaruh yang sangat signifikan terhadap pola pembelajaran yang mampu memberdayakan para peserta didik. Tuntutan global telah mengubah paradigma pembelajaran dari paradigma pembelajaran tradisional ke paradigma pembelajaran baru. Suyanto menggambarkan paradigma pembelajaran sebagai berpusat pada guru, menggunakan media tunggal, berlangsung secara terisolasi, interaksi guru-murid berupa pemberian informasi dan pengajaran berbasis factual atau pengetahuan.
Paulo Freire (2002: 51-52) menyebut strategi pembelajaran tradisional ini sebagai strategi pelajaran dalam “gaya bank” (banking concept). Di pihak lain strategi pembelajaran baru digambarkan oleh Suyanto sebagai berikut: berpusat pada murid, menggunakan banyak media, berlangsung dalam bentuk kerja sama atau secara kolaboratif, interaksi guru-murid berupa pertukaran informasi dan menekankan pada pemikiran kritis serta pembuatan keputusan yang didukung dengan informasi yang kaya. Model pembelajaran baru ini disebut oleh Paulo Freire (2000: 61) sebagai strategi pembelajaran “hadap masalah” (problem posing).

Meskipun dalam aspirasinya, sebagaimana dikemukakan di atas, dewasa ini terdapat tuntutan pergeseran paradigma pembelajaran dari model tradisional ke arah model baru, namun kenyataannya menunjukkan praktek pembelajaran lebih banyak menerapkan strategi pembelajaran tradisional dari pembelajaran baru (Idrus, 1997: 79). Hal ini agaknya berkaitan erat dengan rendahnya professionalisme guru.

Penutup

Permasalahan pendidikan di Indonesia masa kini sesungguhnya sangat kompleks. Makalah ini dengan segala keterbatasannya, hanya sempat menyoroti beberapa diantaranya yang dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu permasalahan eksternal dan internal. Dalam permasalahan eksternal di bahas masalah globalisasi dan masalah perubahan social sebagai lingkungan pendidikan.
Sedangkan menyangkut permasalahan internal disoroti masalah system kelemahan (dialisme dikotomi), profesionalisme guru, dan strategi pembelajaran. Dari pemahaman terhadap sejumlah permasalahan dimaksud di atas dapat disimpulkan bahwa berbagai permasalahan pendidikan yang komplek itu, baik eksternal maupun internal adalah saling terkait.
Hal ini tentu saja menyarankan bahwa pemecahan terhadap permasalahan-permasalahan pendidikan tidak bisa dilakukan secara parsial; yang merupakan pendekatan terpadu. Bagaimanapun, permasalahan-permasalahan di atas yang belum merupakan daftar lengkap, harus kita hadapi dengan penuh tanggung jawab. Sebab, jika kita gagal menemukan solusinya maka kita tidak bisa berharap pendidikan nasional akan mampu bersaing secara terhormat di era globalisasi dewasa ini.

DAFTAR PUSTAKA
- Fakih, Mansour, 2000. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Yogyakarta: Insist Press dan Pustaka Pelajar.
- Freire, Paulo, 2000. Pendidikan Kaum Tertindas, alih bahasa Oetomo Dananjaya dkk. Jakarta: LP3ES.
- Joesoef, Daoed, 2001. “Pembaharuan Pendidikan dan Pikiran”, dalam Sularto ( ed .). Masyarakat Warga dan Pergulatan Demokrasi: Antara Cita dan Fakta. Jakarta: Kompas.
- Karis, M. Rusli. 1991, “Pendidikan Islam sebai Upaya Pembebasan Manusia”, dalam Muslih Usa (ed.). Pendidikan Islam di Indonesia: Antara Cita dan Fakta. Yogyakarta: Tiara Wacana.
- Kuntowijoyo, 2001. Muslim Tanpa Masjid: Esai-Esai Agama, Budaya, dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme Transendental, Bandung: Mizan.
- Maarif, Ahmad Syafii, 1987. “Masalah Pembaharuan Pendidikan Islam”, dalam Ahmad Busyairi dan Azharudin Sahil ( ed .). Tantangan Pendidikan Islam. Yogyakarta: LPM UII.
- Maarif. Ahmad Syafii, 1996. “Pendidikan Islam dan Proses Pemberdayaan Umat”. Jurnal Pendidikan Islam, No. 2 Th.I/Oktober 1996.
- Muhadjir, Noeng, 1987. Ilmu Pendidikan dan Perubahan Social: Suatu Teori Pendidikan. Yogyakarta: Reka Sarasih
- Muhadjir, Noeng, 1987. Ilmu Pendidikan dan Perubahan Social: Suatu Teori Pendidikan. Yogyakarta: Reka Sarasih.
- Othman, Ali Issa, 1981. Manusia Menurut al-Ghazali, alih bahasa Johan Smit dkk. Bandung: Pustaka.
- Shane, Harlod G., 1984. Arti Pendidikan bagi Masa Depan. Jakarta: Rajawali Pers.
- Soedjatmoko, 1991. “Nasionalisme sebagai Prospek Belajar”, Prisma, No. 2 Th. XX, Februari.
- Suyanto, 2007, “Tantangan Profesionalisme Guru di Era Global”, Pidato Dies Natalis ke-43 Universitas Negeri Yogyakarta, 21 Mei.

Wednesday, June 15, 2011

Pendidikan Aqidah Akhlak

Aqidah adalah ilmu yang mengajarkan manusia mengenai kepercayaan yang pasti wajib dimiliki oleh setiap orang di dunia. Alquran mengajarkan akidah tauhid kepada kita yaitu menanamkan keyakinan terhadap Allah SWT yang satu yang tidak pernah tidur dan tidak beranak-pinak. Percaya kepada Allah SWT adalah salah satu butir rukun iman yang pertama. Orang yang tidak percaya terhadap rukun iman disebut sebagai orang-orang kafir.
Akhlak adalah perilaku yang dimiliki oleh manusia, baik akhlak yang terpuji atau akhlakul karimah maupun yang tercela atau akhlakul madzmumah. Allah SWT mengutus Nabi Muhammd SAW tidak lain dan tidak bukan adalah untuk memperbaiki akhlaq. Setiap manusia harus mengikuti apa yang diperintahkanNya dan menjauhi laranganNya.
Akidah adalah gudang akhlak yang kokoh. Ia mampu menciptakan kesadaran diri bagi manusia untuk berpegang teguh kepada norma dan nilai-nilai akhlak yang luhur. Akan tetapi sebaliknya, akidah-akidah hasil rekayasa manusia berjalan sesuai dengan langkah hawa nafsu manusia dan menanamkan akar-akar egoisme dalam sanubarinya.
Akhlak mendapatkan perhatian istimewa dalam akidah Islam.
Rasulullah saww bersabda:
بُعِثْتُ ِلأُتَمِّمَ مَكَارِمَ اْلأَخْلاَق
(Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia).
Dalam hadis lain beliau bersabda: “Akhlak yang mulia adalah setengah dari agama”.
Salah seorang sahabat bertanya kepada belaiu: “Anugerah apakah yang paling utama yang diberikan kepada seorang muslim?” Beliau menjawab: “Akhlak yang mulia”.

Islam menggabungkan antara agama yang hak dan akhlak. Menurut teori ini, agama menganjurkan setiap individu untuk berakhlak mulia dan menjadikannya sebagai kewajiban (taklif) di atas pundaknya yang dapat mendatangkan pahala atau siksa baginya. Atas dasar ini, agama tidak mengutarakan wejangan-wejangan akhlaknya semata tanpa dibebani oleh rasa tanggung jawab. Bahkan agama menganggap akhlak sebagai penyempurna ajaran-ajarannya. Karena agama tersusun dari keyakinan (akidah) dan perilaku. Dan akhlak mencerminkan sisi perilaku tersebut.
Imam Baqir a.s. berkata:
إِنَّ أَكْمَلَ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا
(Mukminin yang paling sempurna imannya adalah yang paling mulia akhlaknya).
Seseorang datang kepada Rasulullah saww dari arah muka dan bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah agama itu?” Rasulullah saww menjawab: ”Akhlak yang mulai”. Kemudian laki-laki itu mendatangi beliau dari arah kiri dan bertanya: “Apakah agama itu?” Beliau menjawab: “Akhlak yang mulia”. Lalu laki-laki itu mendatangi beliau dari arah kanan dan bertanya: “Apakah agama itu?” “Akhlak yang mulia”, jawab beliau untuk yang ketiga kalinya. Akhirnya lali-laki itu mendatangi beliau dari arah belakang dan bertanya: “Apakah agama itu?” Rasulullah saww menoleh kepadanya dan bersabda: “Apakah kau tidak memahami agama? Agama adalah hendaknya engkau jangan suka marah”.
Amirul Mukminin a.s. berkata:
عُنْوَانُ صَحِيْفَةِ الْمُؤْمِنِ حُسْنُ خُلُقِهِ
(Sifat utama seorang mukmin adalah kemuliaan akhlaknya).
Allamah Thabathaba’i menulis: “Akhlak tidak akan dapat membahagiakan sebuah masyarakat dan mengarahkan manusia untuk memperbaiki amalnya kecuali jika akhlak itu bersandar kepada tauhid. Yaitu keyakinan bahwa alam semesta, termasuk manusia memiliki Tuhan Yang Esa dan abadi yang segala sesuatu tidak tersembunyi dari ilmu-Nya dan tidak ada kekuatan lain yang dapat menundukkan kekuasaan-Nya. Ia mencipatakan segala sesuatu dengan aturan yang terbaik, tidak karena Ia butuh kepadanya. Ia akan membangkitkan mereka kembali dan menghisabnya. Setelah itu, Ia akan memberikan pahala kepada orang yang berbuat baik karena perbuatan baik (yang pernah ia kerjakan di dunia) dan menyiksa orang yang berbuat jelek karena kejelekan (yang pernah perbuat di dunia). Kemudian mereka akan kekal dalam nikmat atau siksa.
Dan jelas, jika akhlak berlandaskan kepada akidah semacam ini, maka tugas manusia hanyalah mengharapkan keridlaan Allah dalam segala tingkah lakunya. Taqwa adalah faktor penolak internal bagi manusia dari mengerjakan dosa. Seandainya akhlak tidak bersandarkan kepada akidah ini (akidah tauhid), niscaya tujuan utama manusia dalam setiap tingkah lakunya adalah berfoya-foya dengan kenikmatan dunia yang fana dan tenggelam dalam lautan kehidupan materi.
Akidah-akidah yang memiliki paham Atheisme dengan persepsinya yang memusnahkan rasa ketergantungan manusia kepada Penciptanya yang maha sempurna dan rasa bertanggungjawab kepada-Nya, sebenarnya akidah-akidah tersebut telah memusnahkan satu sumber utama nilai-nilai akhlak (dalam kehidupan manusia), dan ia tidak akan mampu menemukan sumber lain sekuat sumber itu sebagai gantinya.
Akhlak adalah satu kebutuhan vital masyarakat. Akhlak adalah pengaman dari berkobarnya api kejahatan yang sudah lama tersimpan dalam diri manusia. Atas dasar ini, membangun sebuah masyarakat tanpa didukung oleh tuntunan-tuntunan akhlak bagaikan membangun sebuah bangunan di atas tumpukan pasir.
Metode Akidah dalam Membentuk Manusia Berakhlak
Akhlak memperoleh perhatian khusus dalam ajaran-ajaran akidah Islam. Dengan ini, dalam usaha membentuk manusia berakhlak mulia dan terselamatkan dari dekadensi moral, akidah mengikuti metode-metode yang beraneka ragam demi mencapai hal itu. Metode-metode tersebut antara lain:
1. Menjanjikan Pahala Ukhrawi bagi Orang yang Berakhlak Mulia.
Akidah menjanjikan pahala yang besar dan derajat yang tinggi di akhirat kelak bagi orang yang berakhlak mulia, dan siksa yang pedih bagi orang yang berakhlak tidak terpuji dan menyembah hawa nafsunya.
Rasulullah saww bersabda:
إِنَّ الْعَبْدَ لَيَبْلُغُ بِحُسْنِ خُلُقِهِ عَظِيْمَ دَرَجَاتِ اْلآخِرَةِ وَشَرَفِ الْمَنَازِلِ وَإِنَّهُ لَضَعِيْفُ الْعِبَادَةِ
(Seorang hamba dengan akhlaknya yang mulia bisa mencapai derajat akhirat yang agung dan tempat yang mulia kendatipun sedikit ibadahnya).
Dalam hadis yang lain beliau bersabda:
إِنَّ حَسَنَ الْخُلُقِ يَبْلُغُ دَرَجَةَ الصَّائِمِ الْقَائِمِ
(Orang yang berakhlak terpuji dapat menyamai derajat orang yang berpuasa dan shalat malam).

Beliau berwasiat kepada Bani Abdul Muthalib:

يَا بَنِي عَبدِ الْمُطَّلِبِ، أَفْشُوا السَّلاَمَ وَصِلُوا اْلأَرْحَامَ وَأَطْعِمُوا الطَّعَامَ وَطَيِّـبُوا الْكَلاَمَ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ بِسَلاَمٍ

(Wahai Bani Abdul Muthalib, sebarkanlah salam, sambunglah tali kekerabatan, berilah makan (kepada orang-orang fakir) dan bertutur katalah yang baik, niscaya kalian akan masuk surga dengan selamat).
Beliau juga bersabda:
إِنَّ الْخُلُقَ الْحَسَنَ يُمِيْثُ الْخَطِيْئَةَ كَمَا تُمِيْثُ الشَّمْسُ الْجَلِيْدَ
(Akhlak yang terpuji dapat mencairkan kejelekan sebagaimana matahari mencairkan es).
Imam Ash-Shadiq a.s. juga berkata: “Sesungguhnya Allah SWT akan memberikan pahala kepada hambanya karena akhlaknya yang terpuji seperti Ia memberi pahala kepada seorang mujahid di jalan Allah”.
Menjelaskan Efek-efek Duniawi Akhlak.
Seseorang yang berakhlak terpuji akan mampu beradaptasi dengan sesamanya, hidup bahagia, tentram dan melangkah dengan mantap. Adapun orang yang tidak memiliki nilai dan prinsip-prinsip moral, ia akan jatuh dalam jurang kegelapan, hidup dalam kecemasan dan kebingungan sehingga dirinya tersiksa, tidak disenangi oleh sesamanya dan akhirnya akan terjerumus ke dalam jurang kesesatan yang tidak memiliki akibat yang terpuji.
Rasulullah saww bersabda:
حُسْنُ الْخُلُقِ يُثَبِّتُ الْمَوَدَّةَ
(Akhlak yang terpuji dapat melanggengkan kecintaan).
Imam Ali a.s. berkata:
... وَفِي سَعَةِ اْلأَخْلاَقِ كُنُوْزُ اْلأَرْزَاقِ
(...Dan dalam akhlak yang mulia tersembunyi simpanan-simpanan rizki).
Imam Ash-Shadiq a.s. berkata:
وَإِنْ شِئْتَ أَنْ تُكْرَمَ فَلِنْ، وَإِنْ شِئْتَ أَنْ تُهَانَ فَاخْشُنْ
(Jika engkau ingin dihormati, maka berlemah lembutlah dan jika kau ingin dihina, maka bersikaplah kasar).

Pembelajaran Quantum Teaching

Quantum teaching adalah pengubahan belajar yang meriah dengan segala nuansanya. Dalam quantum teaching juga menyertakan segala kaitan interaksi dan perbedaan yang memaksimalkan momen belajar. Quantum teaching berfokus pada hubungan dinamis dalam lingkungan kelas. Interaksi yang menjadikan landasan dan kerangka untuk belajar (De porter. B, 2004). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa quntum teaching adalah orkrestasi atau simfoni bermacam-macam interaksi yang ada mencakup unsur-unsur untuk belajar efektif yang mempengaruhi kesuksesan siswa. Unsur tersebut terbagi menjadi dua kategori yaitu: konteks dan isi. Konteks adalah latar belakang pengalaman guru. Sedangkan isi adalah bagaimana tiap frase musik dimainkan (penyajian) seperti fasilitasi dari ahli sang maestro terhadap orchestra dan pemanfaatan dari bakat setiap pemain musik dan potensi setiap instrumen.


Interaksi dari konteks dan isi dapat mengubah kemampuan dan bakat alamiah siswa menjadi cahaya yang akan bermanfaat bagi mereka sendiri dan orang lain. Jika dikaitkan dengan situasi belajar-mengajar sekolah, unsur-unsur yang sama tersusun dengan baik yaitu suasana, lingkungan, landasan, rancangan, penyajian, dan fasilitas.

Empat ciri dari kerangka konseptual tentang langkah-langkah pengajaran dalam quantum teaching yaitu: (1) adanya unsur demokrasi dalam pengajaran; (2) adanya kepuasan pada diri si anak; (3) adanya unsur pemantapan dalam menguasai materi atau suatu keterampilan yang diajarkan; dan (4) adanya unsur kemampuan pada seorang guru dalam merumuskan temuan yang dihasilkan si anak, dalam bentuk konsep, teori, model dan sebagainya, (De porter. B, 2004).

Unsur demokrasi dalam pengajaran quantum teaching dapat dilihat dari adanya kesempatan yang luas kepada seluruh para siswa untuk terlibat aktif dan partisipasi dalam tahapan-tahapan kajian terhadap suatu mata pelajaran, sehingga memungkinkan munculnya dan terekspresikannya seluruh potensi dan bakat yang terdapat pada diri si anak. Sedangkan kepuasan pada diri si anak muncul dari adanya pengakuan terhadap temuan dan kemampuan yang ditunjukkan oleh si anak secara proporsional. Adapun pemantapan dalam menguasai materi atau suatu keterampilan yang diajarkan dapat dilihat dari adanya pengulangan terhadap sesuatu yang sudah dikuasai si anak.

1. Arti Quantum Teaching

Menurut De porter. B (2004), kata quantum berarti interaksi antara paket-paket energi dalam energi foton yang terquantisasi, sedangkan quantum teaching dalam pembelajaran merupakan interaksi yang terjadi di dalam kelas antara siswa dengan lingkungan belajar yang efektif. Dalam quantum teaching bersandar pada konsep ‘bawalah dunia mereka ke dunia kita, dan antarkan dunia kita ke dunia mereka’. Hal ini menunjukkan, betapa pengajaran dengan quantum teaching tidak hanya menawarkan materi yang mesti dipelajari siswa. Tetapi jauh dari itu, siswa juga diajarkan bagaimana menciptakan hubungan emosional yang baik dalam dan ketika belajar.

Dengan quantum teaching kita dapat mengajar dengan memfungsikan kedua belahan otak kiri dan otak kanan pada fungsinya masing-masing. Otak kiri menangani angka, susunan, logika, organisasi, dan pemikiran rasional dengan pertimbangan yang deduktif dan analitis. sedangkan otak kanan mengurusi masalah pemikiran yang abstrak dengan penuh imajinasi. Misalnya warna, ritme, musik, dan proses pemikiran lain yang memerlukan kreativitas, orisinil, daya cipta dan bakat artistik (De porter. B, 2004).

2. Asas Utama Quantum Teaching

Menurut De porter. B (2004), asas utama quantum teaching adalah “bawalah dunia mereka kedunia kita dan antarkan dunia kita ke dunia mereka”. Dari asas utama ini, dapat disimpulkan bahwa langkah awal yang harus dilakukan dalam pengajaran yaitu mencoba memasuki dunia yang dialami oleh peserta didik. Cara yang dilakukan seorang pendidik meliputi: untuk apa mengajarkan dengan sebuah peristiwa, pikiran atau perasaan yang diperoleh dari kehidupan rumah, sosial, musik, seni, rekreasi atau akademis mereka. Setelah kaitan itu terbentuk, maka dapat membawa mereka kedalam dunia kita dan memberi mereka pemahaman mengenai isi dunia itu. “Dunia kita” dipeluas mencakup tidak hanya para siswa, tetapi juga guru. Akhirnya dengan pengertian yang lebih luas dan penguasaan lebih mendalam, siswa dapat membawa apa yang mereka pelajari kedalam dunia mereka dan menerapkannya pada situasi baru.


3. Prinsip-Prinsip Quantum Teaching

Menurut De porter. B (2004), prinsip-prinsip quantum teaching adalah struktur chort dasar dari simfoni. Prinsip-prinsip tersebut adalah:
• Segalanya berbicara;
• Segalanya bertujuan;
• Pengalaman sebelum pemberian nama;
• Akui setiap usaha; dan
• Jika layak dipelajari, maka layak pula dirayakan.

Dengan demikian, segalanya berbicara seperti yang ada dari lingkungan kelas dan bahasa tubuh, serta rancangan pembelajaran, semuanya mengirim pesan tentang belajar. Sedangkan segalanya bertujuan dapat digambarkan melalui segala sesuatu yang terjadi dalam proses belajar mengajar memiliki tujuan tertentu. Oleh karena itu, proses belajar paling baik terjadi ketika siswa telah mengalami informasi sebelum mereka memperoleh nama untuk yang mereka pelajari.

Belajar pada hakikatnya mengandung konsekuensi ketika peserta didik mulai melangkah untuk belajar yang bagaimanapun untuk setiap usaha dan pekerjaan untuk belajar yang dilakukan selalu dianggap perlu dan akan berpengaruh terhadap hasil pekerjaan yang lebih baik, maka pengakuan dari setiap usaha akan berperan menciptakan perasaan nyaman dan percaya diri, serta dapat menciptakan lingkungan paling baik untuk membantu mengubah diri menuju arah yang diinginkan. Pengakuan tersebut akan lebih lengkap dengan dibuktikan melalui sebuah perayaan sebab perayaan merupakan ungkapan kegembiraan atas keberhasilan yang diperoleh dan juga dengan perayaan akan memberikan umpan balik mengenai kemajuaan dan akan meningkatkan asosiasi emosi positif dengan belajar (De porter B, 2003).

4. Model Quantum Teaching

Menurut De porter, B (2004), quantum teaching mempunyai dua bagian penting yaitu dalam seksi konteks dan dalam seksi isi. Dalam seksi konteks, akan menemukan semua bagian yang dibutuhkan untuk mengubah: suasana yang memberdayakan, landasan yang kukuh, lingkungan yang mendukung, dan rancangan belajar yang dinamis. Sedangkan dalam seksi isi, akan menemukan keterampailan penyampaian untuk kurikulum apapun, disamping strategi yang dibutuhkan siswa untuk bertanggung jawab atas apa yang mereka pelajari: penyanjian yang prima, fasilitas yang luwes, keterampilan belajar untuk belajar, dan keterampilan hidup.

5. Sintaks Pembelajaran Quantum Teaching

Sintaks pembelajaran quantum teaching adalah tumbuhkan, alami, namai, demostrasikan, ulangi dan rayakan (TANDUR). Adapun maksudnya adalah:
1. Menumbuhkan minat dengan memuaskan “apakah manfaatnya bagiku (pelajar)” dan memanfaatkan kehidupan pelajar;
2. Menciptakan atau mendatangkan pengalaman umum yang dapat dimengerti oleh semua pelajar;
3. Menamai kegiatan yang akan dilakukan selama proses belajar mengajar dengan menyediakan kata kunci, konser, model, rumus, strategi, sebuah “masukan”;
4. Menyediakan kesempatan bagi pelajar untuk menunjukkan (mendemonstrasikan) bahwa mereka tahu;
5. Menunjuk beberapa pelajar untuk mengulangi materi dan menegaskan “aku tahu bahwa aku memang tahu ini”;
6. Merayakan atas keberhasilan yang sudah dilakukan oleh pelajar sebagai pengakuan untuk penyelesaian, partisipasi, dan pemerolehan keterampilan dan ilmu pengetahuan (De porter B, 2003).